Tempo hari seperti biasa, saya buka puasa bersama di musala dekat rumah. Seperti biasa pula, saya memperoleh takjil dan nasi kotak. Plus segelas teh manis hangat.
Paket takjilnya saat itu diwadahi tas kertas mungil. Isinya sebutir kurma dibungkus plastik, sebuah pastel sayur dibungkus plastik, dan agar-agar cokelat dalam cup plastik. Ada pula sendok plastik imut untuk makan agar-agar.
Kurma, agar-agar, dan teh saya habiskan di musala. Tas kertas wadah paket takjil saya diminta seorang nenek sebab disangka telah kosong. Tujuannya dijadikan wadah sampah bersama. Oleh karena itu, pastel sayur saya taruh di kotak nasi.
Kasihan tas kertas mungil yang dijadikan penampung sampah itu. Kalau dibawa pulang pasti umurnya lebih panjang. Sebab akan saya kumpulkan dengan sesama tas kertas, entah nantinya akan difungsikan sebagai wadah lagi atau diserahkan ke bank sampah.
Kalau dijadikan penampungan sampah pembungkus takjil, nasibnya terhenti di tong sampah musala. Ujungnya diangkut penggerobak sampah dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Sedihnya, hal itu terjadi dalam kondisi campur aduk antara sampah organik dan anorganik. Plastik dan kertas tak dipilah, padahal kalau dipilah masih bernilai ekonomi. Pun, bakalan mengurangi jumlah the real sampah.
Apa hendak dikata? Walaupun dalam keseharian kami selalu dipaksa melakukan pilah sampah, faktanya pilah sampah belum menjadi "akhlak".
Buktinya tampak jelas dari kondisi paket takjil tadi. Banyak nian pemakaian plastiknya 'kan? Itu belum ditambah isi kotak nasinya.
Selain paket takjil dalam tas kertas mungil, saya juga menerima sekotak nasi. Kondisi isinya bisa Anda cermati pada foto di bawah itu. Sama-sama banyak plastik 'kan? Saya yakin pihak kateringnya tak ingat sama sekali untuk diet plastik.