Akan tetapi, Nyadran di kampung sahabat saya itu jenis makanannya sangat beragam. Yang sempat saya tahu, selain apem beserta ketan dan kolak kering, ada nasi gudheg dan nasi ayam.
Uniknya, seluruh makanan yang dikendurikan tidak ada yang sama persis. Misalnya untuk apem. Walaupun penampakannya tampak sama, sesungguhnya tidak sama persis. Sebagian dibuat dari tepung beras. Sebagian lagi dari tepung terigu.
Demikian pula untuk nasi ayam. Sama-sama berlauk ayam, tetapi berlainan citarasa dan pelengkap. Ukuran potongan dagingnya berlainan. Porsi nasinya juga.
Mengapa bisa begitu? Karena makanan yang dikendurikan itu tidak dipersiapkan panitia. Semua setoran dari masyarakat. Tiap rumah diwajibkan menyumbang minimal 2 kotak makanan. Isinya bebas.
Panitia hanya mengoordinasikan. Memastikan semua yang hadir di masjid mendapatkannya. Setelah acara usai, panitia pula yang bertanggung jawab membagikan kotak-kotak makanan yang belum bertuan, ke warga sekitar.
Karena rumah orang tua sahabat saya dekat masjid, kakak laki-lakinya abdi dalem sekaligus panitia, dobel-dobel kotak makanan yang mereka terima.
"Kamu pulang harus mau kubawain makanan, ya? Ini. Sengaja kulebihin. Bisa kamu bagi-bagi lagi ke tetangga atau siapa saja."
Sahabat saya berkata-kata sembari tangannya sigap mengemas ini dan itu. Saya ketawa-ketawa mendengarnya. Belum juga menolak sudah dikasih ultimatum.
Respons saya kemudian, "Melihat makanan berlimpah begini, pahamlah aku kenapa harga pangan jelang Ramadan naik. Coba hitung. Berapa ribu kue apem dan kolak yang dibuat untuk Nyadran di seantero DIY?
Semua butuh gula pasir dan gula jawa. Apemnya butuh tepung beras. Tepung beras dibuat dari beras. Nah, berapa kilo beras yang dibutuhkan?
Selain untuk dibikin tepung, kebutuhan beras juga meningkat untuk isian nasi kotak. Belum lagi yang untuk bagi-bagi paket sembako. Seperti yang kuterima tadi. Tiap peserta pengajian menerima paket sembako yang ada berasnya. Nah, coba hitung. Itu 'kan panitianya pasti butuh belanja banyak?"