Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity dari Perasaan Personal hingga Pembajakan Buku

30 Juli 2021   14:31 Diperbarui: 30 Juli 2021   14:48 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Saya juga pernah merasakan momen saat perasaan sedang remuk redam, tapi diminta untuk tetap semangat dan beraktivitas sebagaimana biasa. Yang meminta bukan seseorang, melainkan keadaan. Tatkala itu semaksimal mungkin saya saya berusaha tegar karena kondisi mengharuskannya demikian. Akan tetapi, setelah situasi memungkinkan saya menangis sepuas-puasnya. Tentu dilanjutkan mengadu habis-habisan kepada Sang Maha Mengerti.

O, ya. Ada hikmahnya juga trauma curhat yang saya alami. Kini saya terbiasa tidak lambe turah kalau ada seseorang yang curhat terang-terangan ataupun curcol. Seingin-inginnya saya berkomentar "Halah! Cuma segitu aja lho, masalahmu. Itu masalah kecil ...." , saya mati-matian mengunci mulut. Pilih menanggapinya dengan senyuman saja.

Lagi pula, saya bingung hendak berkata-kata apa. Sudahlah bingung memilih kata, bingung juga kapan mau mengomongkannya. Yeah, biasanya orang-orang yang curhat maupun curcol itu kecepatan bicaranya luar biasa. Alhasil, saya yang pendiam jadi kerepotan.  

Hati-hati Memotivasi Anak 

Toxic positivity yang disemburkan ke sesama orang dewasa saja berbahaya. Pastinya akan lebih berbahaya jika disemburkan kepada anak-anak dan remaja. Apesnya, banyak orang tua yang melakukannya tanpa sadar kepada anak-anak mereka.

Sering sekali orang tua bermaksud menyemangati anaknya untuk berusaha melakukan sesuatu secara mandiri. Misalnya agar si anak bisa mengerjakan tugas prakaryanya tanpa bantuan. Tidak tergantung 100 % pada bantuan orang tua.

Jika si anak bersikeras untuk meminta bantuan, sementara orang tua yakin bahwa sebenarnya si anak mampu mengerjakan prakarya tanpa bantuan, sering yang terucap, "Ayolah kerjakan sendiri. Masak gitu aja enggak bisa? Keterlaluan kalau enggak bisa. Itu 'kan mudah. Adikmu saja bisa."

Sebuah ucapan yang terdengar menyemangati 'kan? Namun, hati-hati. Alih-alih terpantik semangat untuk mengerjakan tugas secara mandiri. Perasaan si anak justru dapat terluka sebab merasa direndahkan.

Alibi Si Pembajak Buku

Apa kaitan toxic positivity dengan pembajak buku? Oh, kaitannya erat sekali. Apakah Anda tidak menyadarinya?

Mari ingat-ingat. Bukankah pada umumnya kaum pembajak buku, terutama buku-buku mahal yang wajib dimiliki pelajar/mahasiswa, selalu beralibi bahwa pembajakan yang dilakukan bertujuan mulia? Mulia sebab menolong pelajar/mahasiswa berduit pas-pasan agar sanggup memiliki buku-buku mahal yang dibajak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun