Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa yang Kita Sadari Itulah yang Berpotensi Menjadi Karya

29 Mei 2021   21:35 Diperbarui: 29 Mei 2021   21:45 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capture ulasan tentang pameran seni rupa di blog saya (Dokpri)

Kepiawaian kita dalam mengolah rasa akan menentukan bagus atau tidaknya karya yang kita hasilkan. Makin piawai kita mengolah rasa, niscaya makin bermutu karya yang kita hasilkan. Apa pun bentuk karya yang kita pilih.

Jangan lupa. Tak semua rasa diolah menjadi karya sastra (karya berbentuk tulisan). Sebagian rasa diolah pula menjadi lukisan dan aneka bentuk seni rupa lainnya. Tergantung pada si empunya rasa ingin menjadikannya karya berbentuk apa.

Iya. Karya memang bermula dari rasa. Tepatnya rasa yang kita sadari sepenuhnya. Rasa itulah yang kemudian terekspresikan ke dalam karya. Ada rasa sedih, galau, bimbang, sepi, bahagia, bahkan rasa terhibur dan ingin tertawa.  

Apakah hanya rasa yang kita sadari yang dapat diolah menjadi karya? Tentu saja. Kalau kita kurang peka, tidak sadar betul dengan jenis rasa yang sedang menguasai diri kita, mana mungkin terpikir untuk mengolahnya menjadi karya?

Bukankah tiap manusia dikaruniai perasaan? Saat berhadapan/mengalami aneka peristiwa dalam hidup pastilah selalu dihinggapi aneka rasa. Namun kenyataannya, tak semua manusia mampu mengolah rasanya menjadi karya, apalagi karya yang ciamik.

Ketidakmampuan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak begitu sadar dengan jenis perasaan yang sedang menguasainya. Nah, lho. Kalau tidak paham dengan perasaannya sendiri, mana mungkin seseorang sanggup mengolah rasanya menjadi karya. Baru menentukan perasaan saja sudah tak paham. Repot 'kan?

Kedua, sadar dengan perasaan yang sedang menderanya, bisa lancar menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, baik yang ditulis di buku catatan pribadi (diari) maupun di medsos (mestinya enggak boleh lho curhat di medsos), tetapi bentuknya sekadar curhatan. Belum memenuhi syarat dan ketentuan untuk disebut sebagai karya.

Efek lega setelah mencurahkan perasaan melalui tulisan memang didapat. Namun, sifatnya masih pribadional dan amat subjektif. Belum diolah sedemikian rupa sehingga bisa mewakili perasaan khalayak yang sepenanggungan. Berarti tulisan tersebut baru sebatas menjadi terapi jiwa. Sama sekali belum dapat disebut karya.  

Lain halnya jika perasaan sudah dituangkan ke dalam bentuk puisi atau cerpen atau novelette atau novel. Barulah itu bisa disebut karya.

Seminimal apa pun kualitas penulisannya, paling tidak si penulis sudah berusaha mengolah rasa. Sudah pula berusaha memenuhi syarat dan ketentuan agar tuangan perasaannya layak disebut karya.

Ketika sedang dilanda suatu perasaan (misalnya senang, sedih, patah hati, galau, tertekan) dengan kuat, kita memang cenderung lancar menulis. Tak sekadar lancar menulis curhatan, tetapi lancar pula menggubahnya menjadi aneka karya, baik karya sastra maupun karya seni rupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun