Misalnya ia hobi mengumpulkan penghapus karet, maka segala daya upaya akan dikerahkannya untuk berburu aneka bentuk penghapus karet. Bila koleksi dianggap telah memadai, anak tentu bangga menunjukkan ke teman-temannya. Ke keluarganya juga. Â
Bila respons yang diterimanya bagus, anak bisa makin percaya diri. Ia akan merasa bahagia sebab apa yang telah ditekuninya dihargai.
Astagaaa. Untung saja seaneh apa pun koleksi anak saat ia TK-SD, tak pernah saya buang begitu saja. Berkomentar negatif terhadapnya pun tidak. Tatkala itu sih, saya belum paham manfaatnya. Saya tak main buang dan tak mengomelinya sebab alasan praktis: malas ribut-ribut. Hehehe ....
Manfaat berikutnya, anak dapat belajar mengembangkan kemampuannya dalam mengorganisasi sesuatu. Bukankah memiliki koleksi berarti mengumpulkan, menyimpan, merawat, dan mengatur barang-barang yang dijadikan koleksi?Â
Lagi-lagi saya bersyukur bahwa dahulu tak bersikap main buang koleksi anak. Mungkin sebab dia super ketat dalam menjaga koleksinya sehingga saya tak tahu letaknya. Mana bisa membuang kalau tak nemu barangnya? Hihihi ....Â
Menurut Sani B. Hermawan, seorang psikolog anak dan keluarga, koleksi adalah salah satu cara terbaik bagi anak-anak untuk mengatur keuangannya sendiri.
Begini maksudnya. Jika anak dibiasakan untuk membayar sendiri benda-benda yang ingin ia koleksi dengan uang sakunya, pelan-pelan ia akan belajar cara mengatur keuangan. Anak akan berpikir berapa duit yang dibutuhkannya untuk membeli benda yang ingin ia koleksi, sementara ia tetap bisa jajan. Dan sebagainya.
Hal ini tak hanya berlaku untuk anak usia sekolah. Anak balita yang sudah mengenal uang pun, bisa diajari cara-cara tersebut.
Wow! Penjelasan sang psikolog membuat saya sangat bersyukur. Alhamdulillah saya tak pernah marah-marah jika anak kerap membeli barang-barang yang jadi isi koleksinya. Salah satunya poster-poster artis favoritnya seperti yang tampak dalam gambar di atas.
Hmm. Iya sih, saya tak marah-marah sebab tak dimintai uang demi melengkapi koleksi anak. Namun, tetap saja saya wajib bersyukur. Bukankah itu berarti anak saya telah bijak berbelanja? Walaupun kemungkinan besar, kebijakan itu lahir dari rasa takut saya omeli kalau minta uang lagi.
....