Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Itu Menunggu Jaburan dan Mengantre Beli Es Balok

19 April 2021   19:33 Diperbarui: 19 April 2021   19:51 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Es Campur untuk Berbuka Puasa/Dokpri

MORAL CERITA: Pembagian jaburan sebaiknya dilakukan oleh panitia Ramadan/takmir masjid setempat.

Kisah (2): Romantika Mengantre Beli Es Balok

Kisah nostalgia yang kedua ini seru sekaligus mencemaskan. Seru sebab eksklusif, tak bakalan terjadi sekarang, apalagi di masa depan. Iya, tentu saja begitu.

Mana ada anak zaman now yang disuruh orang tuanya untuk membeli es balok di depot es kumuh? Yang tempat penyimpanannya cuma berupa peti kayu besar (cukup dimasuki empat orang dewasa), tanpa mesin pendingin, dan penahan agar es balok tak cepat mencair adalah sekam. Sama sekali tak higienis. Yup. Itulah sebabnya saya sebut nostalgia yang ini mencemaskan.

Sekarang era industri 4.0 gitu, lho. Kulkas pun sudah menjadi perabot wajib di rumah-rumah, baik yang berlokasi di kota maupun pedesaan. Enggak seperti dulu, ketika cuma orang kaya raya dan tinggal di perkotaan yang memilikinya.

Iya, hanya yang di perkotaan. Mengapa? Sebab di kota telah ada jaringan listrik. Sementara kulkas butuh daya listrik untuk beroperasi. Maka sekaya-kayanya orang di desa kami, semodern apa pun gaya hidupnya, tetap saja ia memilih tak punya kulkas. Iseng amat. Hendak dioperasikan pakai energi apa?

Alhasil tiap Ramadan selepas Asar, terutama jika cuaca sangat panas, banyak di antara kami yang mengantre untuk beli es balok. Belinya di depot es balok milik Pak Lik Anwar, yang berlokasi di pojokan pertigaan depan pasar kecamatan.

Kebetulan saya adalah duta keluarga dalam hal antre es balok ini. Tiap sore mengayuh sepeda mini sejauh satu kilometer (pulang-pergi) ke depot es balok sederhana tersebut. Lalu, terjepit di antara orang-orang dewasa sesama pengantre.

Padahal, saya belinya cuma sedikit. Seingat saya hanya seratus rupiah. Dapatnya es balok sebesar batu bata. Sementara para pengantre lain belinya berbongkah-bongkah karena mereka sesungguhnya para pemilik warung yang jualan aneka es. Mereka datang dari desa-desa di sekitar domisili saya.

Kalau saya renungkan ulang sekarang, tatkala itu saya adalah pahlawan buka puasa keluarga dan mereka pahlawan buka puasa konsumen masing-masing. Bukankah berkat kerelaan kami antre es balok tiap sore, banyak orang yang terlunaskan dahaganya dengan minuman dingin saat berbuka puasa? Hahaha!

Namun, depot es balok Pak Lik Anwar lambat-laun tutup total setelah listrik menerangi kecamatan kami. Seiring dengan makin banyaknya orang yang mampu membeli kulkas. Maka Ramadan di kampung halaman saya tak lagi punya kisah tentang orang-orang yang mengantre beli es balok.    

MORAL CERITA: Betapa program listrik masuk desa telah banyak mengubah gaya hidup masyarakat pedesaan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun