Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cara Paling Efektif untuk Meminimalkan Sisa Makanan

24 Desember 2020   14:20 Diperbarui: 24 Desember 2020   14:25 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejujurnya saja, yang memantik terwujudnya tulisan ini adalah tumpukan sampah yang menyebalkan, yang beberapa hari belakangan ini selalu saya lihat dari balik jendela kayu. Yang pastinya, sudah mulai mengeluarkan bau tak sedap. Jadi ceritanya, orang lain sibuk menyoroti reshuffle kabinet namun saya sibuk mikirin sampah beserta aromanya. Huft!   

Tiga Rasa

Tiap kali melihat tumpukan sampah itu, saya pun mendadak bersenandung ala Ariel Noah. Tentu dengan lirik yang saya pelesetkan. Dan terjadi lagiii .... Kisah lama yang pernah terjadiii .... Sampah-sampah itu terpaksa dibiarkan menggunung lagiii ... Sebab TPS pusatnya ditutup sementara lagiii. 

Begitulah adanya. Ternyata tumpukan sampah itu terjadi bukan sebab tukang sampahnya sedang sakit atau cuti. Penyebabnya ada di TPS "pusat" yang kepenuhan sehingga untuk sementara tak menerima sampah-sampah dari seantero kota.

Alhasil sebagai warga yang tinggal dekat lokasi salah satu tong sampah umum, saya kembali didera tiga rasa: risih, cemas, dan sedih. Risih karena panorama depan rumah jadi tak elok. Cemas karena memikirkan masa depan dunia persampahan; akankah selamanya hal begini senantiasa terulang? Wajar kalau saya cemas. Sudah beberapa kali hal demikian terjadi.

Selanjutnya, saya sedih melihat komposisi tumpukan sampah tersebut. Betapa tidak sedih? Di antara campur aduknya sampah organik dan anorganik di situ, di sana-sini terselip sampah yang berupa makanan. Yang sempat saya lihat ada sisa nasi kotak, tiga butir onde-onde, seplastik gorengan entah apa, seplastik kerupuk, dan roti setengah kardus.

Bu Darmi dan Makanan Pemberiannya

Saya makin sedih sebab teringat pada Bu Darmi. Dahulu Bu Darmi, yang bekerja di sebuah warung makan, kerap memberi saya lauk pauk dan sayur. Makanan itu sebenarnya merupakan bagian dari upah kerjanya. Namun berhubung Bu Darmi hanya hidup dengan sang suami (yang juga mendapatkan jatah makan di tempat kerjanya), sedangkan saat di warung juga sudah diberi fasilitas sarapan dan kudapan, jatah makanan yang dibawa pulang ia rasakan agak berlebihan.

Maka tiap lepas zuhur, Bu Darmi kerap datang untuk berbagi lauk pauk. Bergantian dengan satu tetangga lainnya, sih. Hari ini saya, besok tetangga yang satunya. Namun, itu sudah lumayan bikin saya ngirit. Apalagi tak jarang, porsi makanan yang diberikan kepada saya justru lebih banyak daripada yang ia ambil.

Mula-mula saya tak enak hati sebab kondisi finansial saya lebih baik ketimbang Bu Darmi. Akan tetapi, pada akhirnya saya memaklumi semangat berbagi Bu Darmi itu. Mumpung bisa berbagi, ia bersegera melakukannya.

Lagi pula, ia tipe orang yang tak suka melihat makanan dibuang-buang. Selagi makanannya masih baik, ia bagikan. Pertimbangannya, kalau ia simpan untuk diri sendiri malah terancam tak termakan. Ia memang terbiasa mengambil apa pun seperlunya. Apalagi ia tahu, esok hari bakalan memperoleh makanan yang lain lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun