SIANG itu saya kembali menuju gedung megah kuno di seputaran titik nol kilometer Jogja. Ya, lagi-lagi saya hendak menyambangi Vredeburg. Piknik? Ya, piknik. Tapi piknik plus plus. Yakni plus menghadiri suatu acara.
Namun, saya tidak merasa terpaksa datang ke situ. Vredeburg toh merupakan salah satu bangunan kuno favorit saya. Terutama saya amat suka berada di halaman depannya yang luas. Yang---sayang sekali--kini lebih sering penuh dengan mobil dan motor.
Spot favorit saya adalah jembatan kecil yang tepat berhadapan dengan pintu masuk ke kompleks museum. Wow! Bilamana berdiri di situ dan memandang ke selatan, perasaan ini langsung melangit dan melangut. Imanjinasi pun mendadak beterbangan tak kartuan. Melayang-melayang jauh ke masa silam.
Mengapa mesti menghadap ke selatan? Sebab pada arah tersebut akan terlihat pula beberapa bangunan kuno yang lainnya. Yang sama megah dengan Vredeburg. Jadi rasanya, saya seperti hidup pada masa kolonialisme Belanda. Merasa jadi seorang noni Belanda yang cantik jelita tiada tara ....
Seorang Pria Berpakaian Serba Putih
Imajinasi lebay saya hancur lebur gara-gara bunyi klakson yang tak bersahabat dengan telinga. Saya pun tergeragap. Kembali sadar bahwa diri ini bukanlah seorang noni Belanda. Huft. Faktanya, saya hanyalah seorang calon peserta acara peluncuran dan talkshow sebuah buku mengenai kereta api di Indonesia. Haha!
Ya. Siang itu saya memang hendak menghadiri sebuah acara yang kedengarannya lumayan menarik. Yang lumayan bikin saya melit alias kepo. Adapun acara yang saya maksudkan--sebagaimana telah disinggung di atas--adalah Peluncuran dan Talkshow Buku KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap.
Walaupun sejujurnya belum tahu sama sekali mengenai buku, penerbit, dan penulisnya, saya berusaha keras untuk datang. Apalagi lokasi acara sepelemparan batu saja dari rumah. Dan berhubung acaranya terkait dengan buku, siapa takut? Â
Yang bikin saya takut itu justru seorang pria tinggi besar, yang berkostum serba putih. Termasuk topinya. Meskipun hanya melihatnya sepintas lalu dari kejauhan, napas saya sempat tertahan sesaat. Tentu sembari bertanya-tanya dalam hati, "Itu siapa? Seseorang yang berkostum ala zaman kolonial atau hantu?"
Ketika acara dimulai, barulah saya ngeh. Yang berkostum putih-putih tadi bukanlah hantu melainkan Kak Hari Kurniawan, sang pengamat sejarah. Beliau mengenakan seragam pegawai kereta api pada masa kolonial Belanda dulu. Konon atas permintaan tim penulis KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap.Hmmm. Baik hati sekali, ya? Manutan banget. Â Saya suka, saya suka. Haha!
Namun terbukti, Kak Hari bukan hanya piawai berpakaian ala pegawai jawatan kereta api zaman kolonial Belanda. Yang paling bikin terkesima adalah kepiawaiannya dalam menjelaskan sejarah perkeretaapian di Indonesia beserta detil rute-rutenya. Sungguh, penjelasan lugasnya membuat saya mendadak rindu. Rindu? Iya, rindu pada rute-rute kereta api tempo doeloe. Yakni ketika masih dikelola oleh perusahaan-perusahaan kolonial Belanda.