Mohon tunggu...
agus sutiadi
agus sutiadi Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Kebijakan Publik, Praktisi Good Governance

Praktisi Good Governance di bidang perencanaan, SDM dan pembiayaan pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pendataan Non ASN dan Transparansi Anggaran

14 September 2022   09:29 Diperbarui: 14 September 2022   09:43 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintah sedang melakukan pendataan untuk memetakan dan mengetahui jumlah pegawai non-Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Tujuan pemetaan ini dilakukan agar adanya kesamaan persepsi terhadap penyelesaian tenaga non-ASN. Perlu diingat, pendataan ini bukan untuk mengangkat tenaga non-ASN menjadi ASN tanpa tes.  Penyelesaian masalah tenaga non-ASN tidak bisa dilakukan dengan solusi tunggal. Penataan tenaga non-ASN harus diselesaikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi.

Meskipun sudah jelas tujuan pendataan Pegawai Non ASN ini, namun dalam kenyataannya direspon berbeda di lapangan. Euphoria di kalangan non ASN maupun pengelola kepegawaian tiba tiba terdeviasi. Pendataan seolah  menjadi rencana pengangkatan  non ASN menjadi ASN secara otomatis.  Akibatnya terdapat upaya upaya untuk memasukkan data non ASN sebanyak banyaknya.  Penambahan data ini juga diikuti oleh sejumlah rupiah yang menyertainya. Hal ini terlihat dari himbawan pusat  agar  Pejabat Yang Berwenang (PyB) menindak tegas ASN yang memperjualbelikan data tenaga non-ASN.

Adanya deviasi kebijakan ini tidak ter;lepas dari sejarah masa lalu, saat pengangkatan tenaga  honorer menjadi ASN pada tahun 2005 dan 2012.  Pada saat itu data honorer terus menerus berkembang.  Membengkaknya tenaga honor ini dikarenakan data hanya didasarkan pada SK.  Sulit bagi otoritas kepegawaian nasional untuk mengklarifikasinya karena tidak ada data pembanding. Akibatnya terjadi pertambahan jumlah tenaga honorer secara massif.

Bagi sebagian oknum pengelola kepegawaian, menerbitkan SK pengangkatan  tenaga non ASN yang tidak sesuai  bukanlah hal yang sulit.  Pengaduan telah bertebaran di Medsos.  Berbeda dengan pendataan tenaga honorer, Pendataan Non ASN akan lebih akuntabel karena data non ASN juga harus melampirkan slip gaji.  Oknum mungkin mudah untuk menerbitkan Slip gaji, meskipun tidak sesuai dengan kenyataan.  Upaya ini akan sangat mudah dideteksi karena tersedia data dalam APBD. SK Gaji harus sesuai dengan jumlah yang ada dalam DPA.

Penyampaikan data pegawai non-ASN, PPK harus menyertakan dan menandatangani Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM).  Isinya menyebutkan bahwa data yang disampaikan adalah benar dan bersedia di dikenakan hukuman apabila data  tidak sesuai.

Slip gaji akan menjadi pembeda dalam pendataan Non ASN saat ini.  Hanya slip gaji yang dibiayai oleh APBN maupun APBD yang akan diterima. Berdasarkan perkiraan, terdapat tenaga Non ASN antara 2 sampai 3 juta orang. Jika rata-rata Non ASN dibayar 2 juta maka ada setidaknya  anggaran sebesar Rp.  72T.  Suatu jumlah yang belum ditemukan  dalam kumulatif APBD.

Mengapa bisa  data jumlah non ASN yang begitu besar, namun tidak terdapat dalam anggaran pemerintah. Ada dua mata anggaran yang digunakan untuk membayar non ASN.  Pertama dari anggaran belanja pegawai, dan kedua, dari belanja barang.  Dari hasil penelusuran diperoleh gambaran,  pembayaran  pada tenaga Non ASN yang berasal dari belanja pegawai. Terdapat upah  secara resmi namun dalam jumlah yang relative kecil (jauh dibawah UMR) sehingga dapat mengakomodir lebih  banyak pegawai non ASN.  Kedua, yang paling umum dilakukan, adalah satu orang Non ASN mendapat upah yang cukup layak.  Upah ini kemudian dibagi kepada 5 sampai 6 orang  sebagai upah Non ASN yang tidak terakomodir dalam penerima upah.

Model pembayaran lainnya adalah melalui akun belanja barang.  Terdapat  instansi yang mengalokasikan dengan besaran upah yang beragam sesuai UMR, dan ada juga dibawah UMR.  Upah yang sesuai UMR biasanya dibagi untuk membayar beberapa orang sehingga mengakomodir lebih banyak non ASN.   Ada upah  Non ASN upah yang berasal dari akun perjalanan dinas, ATK, pemeliharan gedung maupun dari biaya belanja kegiatan lainnya. Semua terdapat APBD  namun bukan pada porsi anggararan yang seharusnya.   Ada pula upah yang diberikan berasal dari dana retribusi  yang  tidak termasuk dalam APBD.  Sebahagian  non ASN juga menyatakan dirinya bekerja secara sukarela (tidak dibayar).

Slip gaji nantinya dapat dibandingkan dengan realisasi penyerapan anggaran.  Data APBD sangat transparan sehingga tidak dapat direkayasa.  Kecurangan pencetakan slip gaji yang tidak sesuai akan mudah diketemukan.  Dengan adanya SPTJM maka sangat mungkin pengelola kepegawaian yang kurang cermat dapat terpeleset menjadi pesakitan jika memberikan data yang tidak sesuai. 

Bagi Instansi yang membayar Upah Non ASN secara resmi dan tercantum dalam APBD namun dibawah UMR, sangat mungkin dapat dikenakan sanksi berdasar undang-undang ketenagakerjaan,  dimana angka upah minimum sudah ditentukan.  Adapun gaji yang berasal dari retribusi yang tidak masuk kedalam APBD, pendataan Non ASN ini dapat digunakan untuk pintu masuk dalam perbaikan pengelolaan Anggaran Pemerintah agar lebih akuntabel.  Dengan ditemukan kecurangan  sudah selayaknya oknum yang memanfaatkan pendataan untuk kepentingan sesaat dapat dieliminasi. Sedangkan pembiayaan non budgeter  dapat  dimasukkan kedalam APBD.

Pada akhirnya, jika Pendataan Non ASN ini dilakukan konsisten, maka dapat memperbaiki postur maupun akuntabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun