Kembali berkelebat bayangan Ayah di kelopak mataku, senyumnya begitu sumringah! Â Aku percaya jika beliau ikut serta dalam rombongan pagi ini. walau dalam wujud yang kasat mata. Ayah ingin menjadi bagian dari kebahagiaan hari ini. " Ayah I love You!"
Memandang wajah ibu dari samping. Mata dengan kerutan di sekeliling ibu begitu jelas. Raut kesedihan masih tersisa. Aku yakin, kesedihan karena kepergian Ayah telah membuatnya terguncang. Mimpi-mimpi yang telah ia rajut bersama belahan jiwanya mungkin sebagian telah pupus.
Pernah ia bercerita ingin mengapit aku, berfoto dalam satu bingkai dengan pakaian Wisuda yang aku pakai. Ayah, aku dan Ibu. Tepat di tengah mereka dengan pelukan hangat dan penuh kebanggaan. Tapi mungkin ini tidak mungkin terwujud. Selalu saja air mata ini tumpah membasahi pipi jika mengingat ketulusan mereka. Apalagi saat ini, di mana aku akan naik ke atas paggung, memakai toga dan mendapat penghargaan sebagai Mahasiswi dengan nilai IPK tertinggi!
"Huff" aku menarik nafas panjang.
"Ayah, aku tahu Ayah sangat bangga dengan keberhasilanku selama ini, tapi aku lebih bangga lagi mempunyai kedua orang tua yang sangat mencintaiku dengan segenap jiwa. Tidak ada yang bisa menggantikan ketulusan yang kalian berikan untukku," aku memandang wajah Ibu. Mengelusnya dan perlahan bibirku mencium pipi tirusnya.
Mobil yang aku tumpangi mulai sepi. Semua terlelap. Hanya Pak Sopir yang masih berkonsentrasi memegang kemudi.
"Masih jauh, Pak?" tanyaku.
"Masih, Neng. Tapi sebentar lagi kita akan terjebak macet di pintu Tol. Makanya kita berangkat lewat tengah malam. Untuk menghindari macet di Jalan Kota, supaya sampai tepat waktu ditempat wisuda," Pak Sopir tersenyum.
"Betul, Pak. Banyak kendaraan yang akan parkir di tempat Wisuda. Berangkat lewat tengah malam adalah waktu yang tepat," aku tertawa kecil.
Setelah itu suasana sepi. Aku memejamkan mata. Mencoba merangkai kembali kisah-kisah yang penuh dengan pengharapan. Mimpi yang sebentar lagi menjadi kenyataan tentang anak penarik beca dan penjual kue, tentang hal yang tidak pernah mustahil.
"Ini semua untuk alian berdua," aku berbisik di daun telinga Ibu.