Aku hanya bisa menangis di dalam kamar. Sosok ibu yang aku idam-idamkan, sama sekali tidak tergambar dalam benakku. Pertengkaran yang terjadi dan aku tangkap dalam pendengaran, dapat menggambarkan sisi ibu yang sangat egois. Sangat egois.
Angin malam menyeruak di antara kaca taksi yang aku buka sebagian. Dingin malam mengelus kulit putihku yang terbuka. Aku tidak sempat memakai baju hangat atau jaket.
Pesan singkat yang aku dapat dari Riyan, kakak lelakiku satu-satunya, membuat aku benar-benar syok.
"Ke Rumah Sakit sekarang juga!"
Tanpa berpikir apa-apa lagi, aku langsung memesan taksi, dan pergi menuju Rumah Sakit.
"Ya Tuhan ... semoga tidak terjadi apa-apa dengannya. Aku sangat menyayangi dan mencintainya. Kumohon sembuhkan dia Tuhan," bisikku dalam hati.
Aku membuka telepon genggam. Pukul duabelas lewat limabelas menit. Di pojok layar tertera tanggal 22 Desember 2015.
"Hari Ibu" desisku.
Mataku menerawang jauh.
Ibu, seharusnya dia ada ketika aku sedang membutuhkan. Ibulah yang membelai rambutku ketika aku ingin bermanja-manja. Ibulah yang mengelus pipiku ketika aku sedang bersedih. Ibulah yang pertamakali gelisah ketika aku sedang sakit. Ibu jugalah yang pertamakali mengucapkan selamat ulang tahun ketika hari bahagia itu datang. Tapi nyatanya tidak! Â Dia sibuk dengan sikap profesionalnya. Ibuku adalah wanita karir yang waktunya tersita dengan segudang pekerjaan. Karena banyaknya pekerjaan dan jadwal-jadwal ... sehingga lupa akan kewajibannya, lupa akan suasana rumah dan lupa jika dia punya aku dan juga kakakku.
Bip ... bip ...