Mohon tunggu...
Made Agus Sugianto
Made Agus Sugianto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Analis Kebijakan Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung Bali

Mari saling berbagi informasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Strategi Mewujudkan Ketahanan Pangan

11 Januari 2023   04:19 Diperbarui: 11 Januari 2023   04:28 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pangan merupakan kebutuhan dasar karena merupakan kebutuhan manusia paling esensial (penting). Namun demikian, data BPS Pusat (2021) menunjukkan 8,49% penduduk Indonesia khususnya yang tinggal di Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat masih mengkonsumsi kalori di bawah standard minimum yaitu 2100 kkal/kapita/hari. Kondisi ini disebabkan karena daerah tersebut mengalami defisit neraca pangan serta persentase penduduk miskin tinggi. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah untuk  segera merumuskan langkah strategis ketahanan pangan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara  sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan  yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,  merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,  keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan  produktif secara berkelanjutan. Sementar menurut Food and Agriculture Organization (1997), ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

Hasil pemetaan di Indonesia tahun 2019 menunjukkan ada penurunan jumlah kabupaten yang mengalami rentan pangan, yaitu dari 96 Kabupaten (2015) menjadi 55 kabupaten (2018). Namun pada tingkat regional, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia (2021) menduduki urutan ke-6 setelah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina.

Food and Agriculture Organization mencatat bahwa sejak tahun 2000-2021, harga pangan dunia terus mengalami peningkatan, khususnya komoditas minyak sayur, sereal, produk susu, gula dan daging. Sementara data BPS Pusat tahun 2016 menunjukkan Indonesia menduduki urutan ke-5 negara pengimpor beras (1-3 juta ton pertahun). Terkait hal ini, perlu segera dilakukan revitalisasi terhadap sistem ketahanan pangan yang mencakup sistem  ketersediaan  (food availability), akses pangan  (food access), penyerapan  pangan (food  utilization) dan stabilitas stok dan  harga pangan  (food stability).

Pemerintah telah berupaya mengambil langkah strategis yaitu meningkatan kapasitas produksi secara berkelanjutan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi, revitalisasi industri hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian), revitalisasi industri pasca panen dan pengelolaan pangan, revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada:  kopersasi, UKM, dan lumbung desa serta pengembangan kebijakan.

Upaya peningkatan ketersediaan pangan dilakukan dengan cara meningkatkan produksi pangan domestic dan stock/cadangan pangan ekspor-impor. Sementara untuk meningkatkan keterjakauan dengan meningkatkan distribusi, stabilisasi pasokan dan harga, sistem logistic, manajemen stock, daya beli masyarakat serta akses terhadap pasar dan informasi. Selanjutnya, peningkatan pemanfaatan produk dengan perbaikan pola konsumsi, penganekaragaman konsumsi, perbaikan gizi serta keamanan dan mutu pangan. 

Keberhasilan upaya ini sangat tergantung pada luas lahan yag tersedia, iklim dan cuaca, pengembangan teknologi dan infrastruktur pertanian. Terkait hal tersebut, pemerintah berencana memanfaatkan lahan rawa di Provinsi Kalimantan Tengah sebagai food estate atau lahan produktif komoditas pangan. Area yang disiapkan mencapai luas 164.598 ha, yang dibagi menjadi lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha dan lahan intensifikasi seluas 85.456.

Hal paradox justru terjadi pada perilaku makan masyarakat. Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup RI (2021) menunjukkan bahwa 39,85% komposisi sampah di Indonesia merupakan sisa makanan. Demikian pula data The Economist Intelltgence Unit (2017) memperlihatkan bahwa Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbanyak nomor 2 di dunia di atas negara Lebanon. Kementerian PPN/Bappenas juga melakukan kajian mengenai riwayat Food Loss (Kerusakan Makanan) dan Food Waste (Sampah makanan) di Indonesia dalam rentang waktu 19 tahun (2000-2019). Hasilnya, Indonesia mengalami kerugian ekonomi akibat mubazir pangan sebesar 4 - 5% Produk Domestik Bruto (PDB). Jika diuangkan, nilai tersebut setara dengan Rp.213-551 triliun per tahun.

Cara terbaik untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan meningkatkan kesejahteraan petani dan menstabilkan harga pangan. Oleh karena itu, perlu disusun kebijakan tentang pemanfaatan hasil pertanian dengan cara "zero waste" berbasis ekonomi sirkular, mensinergikan riset pertanian dengan RISTEK-BRIN dan Perguruan Tinggi serta pengalihan subsidi pupuk dan bibit ke teknologi pertanian seperti drone, sensor dan kamera.

Penulis: Analis Kebijakan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun