Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Keberagaman dari Tanah Timor

30 Oktober 2022   14:02 Diperbarui: 30 Oktober 2022   14:11 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah tempat penulu/dokpri

Banyak cara untuk memahami arti keberagaman di negara kita. Puluhan suku yang ada di negeri ini, ditambah dengan ratusan bahasa yang tersebar di ribuan pulau ini mempunyai banyak arti bagi penduduknya. Kesalahan dalam memahami arti keberagaman, bisa saja menggelincirkan bangsa ini dalam konflik tak berkesudahan.

Bagi saya sendiri, satu keuntungan yang luar biasa saat selama 10 tahun hidup di perantauan. Tempat merantau yang saya pilih, boleh dibilang sebagai pilihan yang ekstrim, Timor Timur. Di tanah yang tandus itulah masa awal profesi PNS Guru saya jalani, hingga akhirnya harus pindah karena jajak pendapat pada tahun 1999.

Kalau boleh jujur, tekad merantau ke Timor Timur sebenarnya karena keterpaksaan. Tidak adanya tes PNS pada tahun itu, ditambah kesulitan mencari tempat untuk mengabdikan diri sebagai guru honor, menjadi penyebab utama. Kebetulan saat itu IKIP Negeri Yogyakarta membuka peluang penempatan guru ke Timor Timur sebanyak 150 orang guru. Dari titik inilah langkah saya berawal.

Meskipun terbilang nekad, langkah ini juga dengan pertimbangan matang. Salah satu di antaranya adalah pekerjaan saya sebagai guru SMA. Untuk wilayah Timor Timur, sekolah-sekolah jenjang SMA hanya ada di perkotaan saja. Dus, jika pun saya jadi berangkat, pasti akan ditempatkan di kota. Ternyata benar dugaan saya. Saya ditempatkan di SMA Negeri 1 Baucau, kota nomor 2 di Propinsi Timor Timur.

Di usia yang masih terbilang muda (23 tahun), ditambah minimnya pengalaman dalam merantau membuat saya harus banyak belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Pada saat itu, tahun 1989, guru-guru yang ditempatkan di SMA semua berasal dari luar Timor Timur. Sehingga tidak heran jika di SMA yang saya tempati, berisikan guru-guru dari berbagai suku yang ada di negeri ini. Boleh dibilang dari ujung barat sampai timur.

Teman guru yang mengajar paling barat berasal dari Medan, sedangkan paling timur adalah dari Maluku. Sehingga paling tidak ada 15 suku yang ada di SMA itu mulai dari Batak, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, NTT, Dayak, Ambon, dan Sasak. Keberagaman itu berarti pula keberagaman dari segi sikap dan watak.

Demikian pula dengan agama yang dianut. Saya sebagai penganut agama Islam, terbilang minoritas di SMA itu. Paling banyak adalah teman-teman dari NTT yang beragama Katholik, sama dengan agama yang dianut oleh penduduk asli Timor Timur. Kelompok kedua, baru kami yang beragama Islam, kebanyakan berasal dari Jawa dan Sulawesi. Ketiga, teman-teman beragama Kristen yang berasall dari Maluku. Terakhir adalah teman-teman beragama Hindu, dari Bali.

Dua macam keragaman inilah yang kemudian mendewasakan saya dalam memahami arti kebangsaan. Terbayang seandainya kita tidak mempunyai bahasa persatuan, bahasa Indonesia, mungkin akan terjadi kesulitan dalam berkomunikasi. Dengan adanya bahasa Indonesia, maka kami sangat leluasa dalam menjalin komunikasi.

Dalam hal keragaman dalam agama, banyak hal yang saya dapatkan. Saya secara langsung mempraktikan toleransi dalam beragama. Saya hormati agama teman-teman lain, seperti juga mereka hormati agama yang saya anut. Maka tidak heran jika kami seolah-olah mempunyai 3 hari besar yang selalu kami rayakan, mulai dari Hari Raya Iduel Fitri, Natal, maupun Nyepi. Rasa saling menghargai sangat terasa sekali di sekolah ini.

Sepuluh tahun masa kebersamaan itu akhirnya harus berakhir saat Timor Timur memutuskan diri untuk memisahkan diri. Saya pun harus kembali ke Magelang, kota di mana saya dilahirkan. Demikian pula dengan teman-teman guru yang lain. Saat di Jawa inilah apa-apa yang saya dialami di Timor Timur sangat terasa. Toleransi saya terhadap teman dari suku maupun agama lain terasa begitu kental. Saya mampu memahami perbedaan itu dengan baik, dalam artian bisa menghargai dan memahami apa-apa yang mereka lakukan. Dan yang sangat saya garis bawahi, sudah seharusnyalah kita jaga kebersamaan ini dalam bingkai kebersamaan, bukan justru menjadikannya sebagai amunisi untuk saling menyerang. Bagaimanapun juga, kita semua bersaudara.

Lembah Tidar, 30 Oktober 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun