Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sutan Syahrir, Si Bung yang Tersisih (1)

7 Juli 2021   19:59 Diperbarui: 7 Juli 2021   20:03 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: idn.times.com

Tak banyak generasi muda yang tahu dengan sepak terjang Sutan Syahrir. Pengetahuan mereka hanya terbatas saat beliau bejuang di bawah tanah dalam menghadapi pendudukan Jepang dan aksinya saat menjabat Perdana Menteri setelah kemerdekaan dalam perundingan Linggajati.

Selebihnya tidak ada lagi. Bahkan saat beliau meninggal dalam kesunyian di Zurich, Swiss, tak pula mereka ketahui. Padahal Sutan Syahrir adalah tiga serangkai yang aktif dalam pembentukan negara ini. Tak salah jika Chairil Anwar sang penyair hebat negeri ini mengabadikannya dalam puisi yang berjudul Karawang -- Bekasi.

Dalam salah satu bagian puisinya Chairil Anwar bercerita tentang sosok Sutan Syahrir:

"Kenang, kenanglah kami,

Teruskan,teruskan jiwa kami,

Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat,

Berilah kami arti,

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian"

Ungkapan ini menunjukkan bahwa tiga serangkai itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Peran mereka saling mengisi dalam membangun negeri ini. Namun entah mengapa ujung perjalanan Sutan Syahrir justru bertemu di jalan bunti yang sunyi.

Sebagai anak bangsa, Sutan Syahrir terbilang lahir dalam posisi yang cukup baik secara apapun. Keberadaannya sebagai anak seorang penasihat Sultan Deli sekaligus Kepala Jaksa pada pemerintahan colonial Belanda, membuatnya mampu menikmati pendidikan yang sangat layak.

Riwayat pendidikannya dimulai dari ELS (setingkat SD), kemudian MULO (setingkat SMP). Pada tahun 1926, dia pindah ke Bandung bersekolah di AMS (setingkat SMA) yang saat itu merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.

Bekal bahasa Belanda dan pergaulan yang luas, membuat wawasan Sutan Syahrir berkembang sangat luas. Berbagai buku-buku Eropa dilahapnya semua. Termasuk pula berbagai buku satra yang ada pada saat itu. Maka tidak mengherankan jika Sutan Syahrir merupakan perpaduan antara Muhammad Hatta dan Soekarno. Kemampuan sebagai pemikir yang dimiliki Mohammad Hatta, dipadu dengan kemampuan berorasi maupun kemampuan bidang seni Soekarno ada pada diri Sutan Syahrir.

Ada sisi menarik yang ada pada Sutan Syahrir. Pribadi Sutan Syahrir nampak sebagai pribadi yang terbuka. Kemampuan yang dimilkinya terasa komplit untuk ukuran seorang tokoh. Bayangkan saja, dia adalah sosok yang paling getol bicara politik dalam setiap ruang diskusi. Namun di sisi lain, Sutan Syahrir juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam bermain biola, doyan baca buku, bermain teater dan menyanyi. Satu sisi yang lain, Sutan Syahrir pun menggeluti bidang olah raga, terutama sepak bola.

Secara logika hidup Sutan Syahrir sudah aman. Dalam segi apapun beliau ada di zona nyaman. Hal sama yang dialami oleh tokoh-tokoh pergerakan lain di tanah air ini. Zona nyaman yang harusnya mereka nikmati berada dalam lingkaran pemerintahan colonial, mereka tinggalkan. Mereka sibuk dengan berbagai gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sutan Syahrir sendiri terpanggil jiwanya untuk tururt dalam pergerakan gegara mendengar pidato Dr. Tjipto Mangunkusumo di Aloon-Aloon Bandung. Dan sejak tahun 1927, beliau menceburkan diri dalam kancah pergerakan.

Sikap ketidakcocokan Soekarno tehadap Sutan Syahrir tidak terjadi hanya saat-saat menjelang kemerdekaan. Ketika keduanya "bersaing" dalam membina orgamisasi pergerakan, bibit itu sudah ada. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Penjambung Lidah Rakiat (1966) Soekarno mengatakan:

"Hatta dan Sjahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Tidak ada tindakan, hanya bersoal-jawab."

Tuduhan itu yang dilontarkan pada Sutan Syahrir dan Muhammad Hatta. Langkah kedua tokoh ini dengan melakukan pendidikan politik melalui PNI-Baru, dianggapnya sia-sia. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan Soekarno, Soekarno lebih menekankan pada berbagai orasi politik dalam bentuk penggalangan massa. Langkah ini dianggapnya sebagai langkah yang paling tepat.

Langkah yang ditempuh okeh Muhammad Hatta dan Sutan Syahrir adalah dengan melakukan pendidikan politik. Langkah ini dianggap penting sebagai persiapan pembentukan sebuah negara. Maka tidak heran jika penuh dengan kegiatan kursus-kursus politik maupun penerbitan berbagai brosur. Langkah yang cenderung soft, dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Soekarno.

Lembah Tidar, 7 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun