Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Boog Kotta Leideng, The Fliying River from Magelang

18 April 2020   09:59 Diperbarui: 18 April 2020   09:57 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Jelajah Plengkung oleh komunitas Kota Toea Magelang (widoyokomagelang.worpress.com)

Boog Kotta Leideng (widoyokomagelang.worpress.com)
Boog Kotta Leideng (widoyokomagelang.worpress.com)

Tidak banyak orang yang tahu, jika kota Magelang mempunyai peninggalan sejarah yang terbilang unik. Dimana peninggalan tersebut merupakan salah satu bangunan peninggalan bangsa Belanda saat menguasai Indonesia, termasuk kota Magelang. Bangunan tersebut berupa saluran air yang mempunyai nama asli Boog Kotta Leideng,  namun warga Magelang kini mengenalnya dengan nama Kali Kota.

Saluran air yang lebih menyerupai selokan panjang ini sengaja dibuat oleh pemerintah kolonal Hindia-Belanda saat itu bertujuan untuk melengkapi sarana prasarana kota Magelang. Saluran yang berawal dari Kali Manggis ini memanjang sekitar 6.5 km dari Utara hingga ke Selatan kota Magelang. Adapun fungsi awal adalah sebagai saluran irigasi, membersihkan limbah rumah tangga. Sehingga pemerintah Hindia-Belanda menamakan saluran ini sebagai saluran air kota (Boog Kotta Leiding).

Berkaitan dengan fungsi sebagai saluran irigasi, pemerintah Hindia-Belanda pantas untuk  diacungi jempol. Sebab berdasarkan keadaan geografis, wilayah Magelang menyerupai punggung buaya. Artinya berupa sebuah gundukan tanah dengan dua sungai besar, sungai Progo di bagian Barat dan sungai Elo di bagian Timur. Sialnya kedua sungai tersebut lebih rendah dibandingkan wilayah perkotaan. Sehingga secara otomatis para petani mengalami kesulitan dalam mengairi persawahan.

Untuk wilayah kota Magelang bagian Utara dan Timur, pemerintah Hindia-Belanda membuat kali Manggis yang berhulu di Sungai Progo, yaitu di wilayah Kranggan, Temanggung. Sedangkan untuk wilayah Selatan dan Barat Daya, mereka membangun saluran air yang dikenal dengan nama Boog Kotta Leideng.

Sisi yang tidak kalah menarik dari saluran air buatan bangsa Belanda ini adalah teknologi yang mereka terapkan. Saluran ini dibuat dengan cara menempatkan pipa besar berdiameter 1 meter sepanjang 6,5 km di atas gundukan tanah. Sumber air saluran ini diambil dari kali Manggis di desa Kedungsari. Posisi desa Kedungsari yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Selatan kota Magelang membuat air dapat mengalir dengan baik, hal ini didasarkan pada hukum gravitasi. Sehingga tekanan air yang ada sama sekali tidak menggunakan peralatan sama sekali. Dilihat dari panjang saluran yang dibuat, saluran ini merupakan sebuah proyek yang luar biasa untuk ukuran tahun 1883. Sehingga sepintas saluran air itu seperti seekor naga yang menjulur sepanjang kota Magelang, memanjang dari Utara hingga ke Selatan.

Sisi unik dari saluran air ini, ternyata tidak hanya berhenti disini saja. Tiga buah terowongan yang dibuat di bawah saluran air tersebut menjadi daya tarik sendiri. Berdasarkan prasasti yang tertulis di terowongan tersebut tertera tahun 1883, 1893 dan 1920. Tahun-tahun itu menjadi saksi bisu kehebatan monumen tersebut.

Terowongan yang selanjutnya dikenal dengan nama Plengkung ini, menjadi salah satu peninggalan sejarah yang unik di kota Magelang. Karena jika dibandingkan dengan Plengkung Gading di Yogyakarta, Plengkung di kota Magelang berada di bawah saluran air. Dalam beberapa literatur konsep ini dikenal dengan nama aquaduct.

Perlu diketahui bahwa di kota Magelang terdapat tiga bangunan Plengkung dengan tahun pembuatan yang berbeda-beda. Plengkung pertama terdapat di jalan Piere Tendean, yang menghubungkan taman Badaan (dahulu komplek perumahan perwira Belanda) dengan tangsi militer Belanda (sekarang RINDAM VII Diponegoro) berangka tahun 1883. Plengkung kedua dibangun di jalan Daha pada tahun 1893, dan Plengkung ketiga terdapat di jalan Ade Irma Suryani berangka tahun 1920. Ketinggian bangunan rata-rata 7 meter.

Selain segi fungsi dari saluran air tersebut, bangsa Belanda ternyata memikirkan juga sisi artisitik dari saluran air tersebut. Hal ini terlihat dari pembuatan terowongan yang selanjutnya dikenal dengan nama Plengkung. Terowongan yang selanjutnya menjadi jalur penghubung antar dua jalan ternyata justru menjadi daya tarik yang luar biasa hingga saat ini. Sementara pada bagian Timur saluran air kini dipercantik dengan taman yang indah. Maka lengkaplah keindahan saluran air tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun