Mohon tunggu...
Agus Setiadi Sihombing
Agus Setiadi Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Stay humble and being life-long learner!

Mewujudkan impian dengan menghadirkan mimpi bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Umpasa untuk Pembangunan Karakter Bangsa

7 Desember 2019   11:35 Diperbarui: 7 Desember 2019   11:54 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Umpasa (pantun dalam bahasa Indonesia) merupakan salah satu ragam sastra lisan yang dimiliki masyarakat Batak Toba. Umpasa merupakan pantun dari orang tua atau nenek moyang etnik Batak terdahulu yang berisikan pesan atau nasihat kehidupan, yang di dalamnya juga terdapat nilai-nilai karakter, budaya, dan kemanusiaan.

Umpasa yang dituturkan umumnya berisi kebaikan seperti doa restu, nasihat dan permohonan yang disampaikan kepada Tuhan. Umpasa yang dituturkan tersebut diharapkan dapat menjadi berkah bagi orang yang menerimanya.

Tradisi marumpasa (berpantun) masih berkembang di masyarakat Batak Toba. Umpasa merupakan kebudayaan yang diwariskan kepada setiap etnik Batak sekalipun etnik tersebut telah meninggalkan daerah etnik Batak atau berada pada etnik yang bukan mayoritas masyarakat Batak.

Hal itu disebabkan keyakinan masyarakat Batak tentang isi dari umpasa tersebut. Bila memakai umpasa, masyarakat mengganggap suatu pesan akan lebih baik dan lebih bijak dalam penyampaiannya (R.C. Simamora, 2016:2). Nilai estetik dan keunikan dari umpasa adalah sebuah nilai tinggi dalam bahasa Batak Toba. Umpasa memiliki makna di setiap konteks yang berbeda (R.C. Simamora, 2016:3).

Tradisi bertutur umpasa juga terdapat di daerah suku Batak lainnya seperti Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pak Pak, dan Batak Mandailing. Di masyarakat Batak Simalungun, umpasa disebut sebagai berkat bagi orang yang menerimanya; di masyarakat Batak Karo, umpasa disebut dengan ndung-dungen; di daerah Batak Pak Pak, umpasa tetap disebut umpasa atau uppasa; sedangkan di daerah Batak Mandailing, umpasa disebut pantun. Perbedaan nama atau penyebutan umpasa yang terdapat di masyarakat Batak (Toba, Simalungun, Karo, Pak Pak, dan Mandailing) terletak pada bahasa yang digunakan (Jonpiter Manurung, 2017:9).

Lebih lanjut, umpasa terindikasi memiliki nilai-nilai budaya yang sinergis dan integratif terhadap pembangunan butir-butir nilai karakter bangsa. Umpasa memiliki beberapa nilai budaya yang terintegrasi dengan fondasi pembangunan nilai-nilai karakter bangsa seperti religius, jujur, kerja keras dan rasa ingin tahu, demokratis, bersahabat (komunikatif), cinta damai, peduli sosial, dan tanggungjawab. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.

1. Religius  

Umpasa mengandung nilai budaya yang terintegrasi dengan karakter bangsa berupa religius, yaitu yang berbunyi (T.M. Sihombing, 1989:177):
 "Ia disi sirungguk, disi do sitata;
(Jikalau di situ Sirungguk, di situ juga Sitata)
ia disi hita juguk, disi do Ompunta Debata."
(jika di situ kita duduk, di situ juga Tuhan kita berada)

Artinya, di manapun manusia (kita) berada, tetaplah harus takut untuk melakukan segala hal yang jahat (tidak sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan). Namun sebaliknya, kebaikanlah yang seharusnya bersama-sama kita lakukan. Jika Tuhan senantiasa beserta kita, seharusnya tidak ada lagi rasa takut terhadap apapun juga, sebab kita selalu dalam lindungan tangan-Nya.  

2. Jujur

Umpasa menyebutkan (T.M. Sihombing, 1989:9): "Ndang piga halak sigandai sidabuan, alai godang sigandai hata." Artinya, tidak begitu banyak orang yang dapat menggandai takaran beras, namun banyak orang yang menjadi pengganda kata (berbicara tidak jujur). Oleh sebab itu, orang tua dahulu mengajarkan berbicara yang baik dalam umpasa-nya (T.M. Sihombing, 1989:5):
"Niarit lili bahen pambaba;
(Mengikis lidi untuk dibuat perajut benang tenunan)
jolo nidilat bibir asa nidok hata."
(terlebih dahulu pastikan kebenarannya sebelum mengucapkan kata)

Maksudnya, pikirkan matang-matang terlebih dahulu sebelum berbicara. Masyarakat Batak meyakini bahwa perkataan yang tidak benar dapat menyebabkan perang yang berapi-api.

Sebaliknya, perkataan yang baik dan jujur akan mampu memadamkan kobaran api yang menyala-nyala. Oleh sebab itu, umpasa ini mengajak kita untuk menjaga kejujuran setiap kata yang keluar dari mulut kita agar kerukunan dan ketenteraman dapat terjaga dengan baik.    

3. Kerja Keras dan Rasa Ingin Tahu

Umpasa dalam Martha Pardede (2017:211) mengatakan:
"Pidong harijo, pidong harangan;
(Burung Gereja, burung Kampung)
sitapitapi pidong Toba,
(Sitapitapi burung Toba)
na gogo mangula do butong mangan;
(yang gigih atau giat bekerja makan dengan kenyang)
najugul marguru do dapotan poda."
(yang gigih belajar atau mengeksplorasi diri yang akan mendapat ilmu)

Maknanya, orang yang gigih bekerja adalah orang yang akan mendapat kemudahan rezeki, dan orang yang gigih belajar (memiliki rasa ingin tahu dan mau mengeksplorasi diri) akan mendapat ilmu yang berlimpah. Sebaliknya, orang yang tidak mau belajar dicap sebagai orang bodoh, sebagaimana yang dikatakan umpasa dalam Martha Pardede (2017:213):

Napuran huta, napuran sipoholon;
(sirih desa, sirih Sipoholon)
Na soo olo marguru, ima jolma na landongon."
(yang tidak mau belajar atau mengeksplorasi diri, itulah orang yang bodoh)

4. Demokratis

Sejatinya nilai demokratis telah lama diakui masyarakat Batak. Umpasa yang sekaligus menjadi nasihat bagi generasi bangsa saat ini dapat dilihat seperti di bawah ini:

Rata pe bulung ni salak
(Pun hijau daun salak)
Rataan dope bulung ni sitorop
(lebih hijau daun Sitorop)
Uli pe hata ni sahalak
(pun bagus pendapat satu orang)
Ulian dope hata torop
(lebih bagus nan elok pendapat banyak orang)

Artinya, sejak dahulu masyarakat Batak telah menjunjung tinggi nilai demokrasi. Walaupun pendapat seseorang sudah baik, tetapi keputusan bersama adalah yang lebih baik.

Hal ini senada dengan nilai demokratis yang mengedepankan pendapat dan musyawarah yang melibatkan banyak orang demi mencapai kesepakatan bersama (mufakat). Jadi, seharusnya nilai demokratis tersebut sudah mendarahdaging bagi kita melalui ruh umpasa ini guna mewujudkan negara yang juga demokratis.

5. Bersahabat (Komunikatif)

Umpasa mengatakan:
Manuk ni pea langge hotekhotek lao marpira;
(Ayam berbunyi kotek-kotek menandakan hendak bertelur)
nasirang marale ale doshon matean ina
(berpisah dengan handai taulan seperti ditinggal mati oleh ibu)

Maksudnya, suka bergaul dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Bak seorang ibu, sahabat dapat menjadi orang yang sangat berarti, sehingga kehilangan teman (handai taulan) sama pedihnya seperti kehilangan ibu yang kita cintai. Bersahabat adalah peluruh terbaik terhadap pelajar yang masih enggan berggandengan tangan atau masih sibuk dengan perkelahian dan tawuran.  

6. Cinta Damai

Meski pada umumnya kepribadian etnik Batak dianggap keras dan kejam, namun sejatinya etnik Batak telah menganggap tinggi nilai kesopansantunan dari dahulu kala. Nilai tersebut senantiasa dipegang teguh dan menjadikan perdamaian merupakan hal yang dianggap penting bagi masyarakat Batak. Hal tersebut dapat dicermati pada umpasa yang mengatakan (T.M. Sihombing, 1989:159):

"Mandurung di panjalaan, gabe dapot porapora;
(Menanggok di sungai, dapat ikan Paitan)
sai na marujung do sihataan, molo adong sada ni roha."
(akan selalu berakhir pembicaraan, bila ada satu hati)

Maknanya, segala sesuatu yang dikatakan akan selalu berakhir dengan baik bila ada rasa satu hati (kesepakatan bersama). Hal senada juga dikatakan pada umpasa yang berbunyi (T.M. Sihombing, 1989:6): 

"Ndang boi bingkas bodil so jolo sampak aek." Artinya, tidak boleh ada keributan atau pertengkaran jika tanpa sebab, apalagi sampai merenggut korban jiwa. Jadi, secara tidak langsung umpasa ini mengajarkan kita untuk menghindari permusuhan dan pertikaian, atau mengutamakan perdamaian.

7. Peduli Sosial (Gotong Royong dan Kerjasama)

Umpasa dalam Martha Pardede (2017:208) mengatakan:
 "Ansimun sada holbang, pege sangkaripang
(Mentimun seikat, jahe seonggok)  
Manimbung rap tu toru, mangangkat rap tu ginjang."
(melompat ke bawah bersama-sama, dan naik bersama-sama)

Artinya, semangat gotong royong dan kerjasama harus senantiasa dilakukan, agar pekerjaan lebih mudah dikerjakan (efisien dan efektif). Hal ini berarti bahwa kepedulian sosial harus senantiasa tercermin dalam setiap aktivitas kehidupan sebagai implementasi dari kodrat manusia selaku makhluk sosial.

Tidak kalah pentingnya, semangat gotong royong dan kerjasama menjadi keharusan dalam membangun bangsa ini lebih maju lagi, karena bangsa ini sejatinya tidak dapat dibangun oleh satu individu saja. Oleh karena itu, semangat ini harus digemakan lagi agar kita dapat menikmati bersama majunya Indonesia.

8. Tanggungjawab

Umpasa yang dikutip Gultom (dalam Bornok Sinaga, 2017:194) mengatakan: "Nunut si raja ni ompuna, ditangan ni napadot do haduma on." Artinya, ketekunan bekerja adalah wujud pertanggungjawaban dan hanya orang rajin yang akan mendapat kesejahteraan. Ketekunan dapat dimaknai kesungguhan hati dan pikiran dalam melaksanakan suatu pekerjaan.

Apapun permasalahan yang dihadapi, jika ketangguhan dalam diri anak tercipta maka permasalahan dapat terpecahkan. Lebih jauh, anak yang rajin bekerja diyakini mendapat anugerah kesejahteraan dalam hidupnya.

Dalam implementasinya, nilai-nilai budaya umpasa di atas berdayaguna untuk menanamkan nilai-nilai sikap dan perilaku  anak bangsa yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Sederhananya, umpasa adalah komposisi yang tepat untuk membentuk individu sesuai dengan nilai-nilai karakter luhur bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Manurung, J. 2017. Makna Umpasa pada  Acara Perkawinan Batak Toba(Kajian Antropolinguistik). 

Pardede, M. 2017. Umpama and Umpasa of Batak Toba as The Source of LocalWisdom (A Cultural Analysis Based on Meaning and Function for Revitalitation). 

Sihombing, T., M. 1998. Jambar Hata (Dongan tu Ulaon Adat). C.V. Tulus Jaya.

Simamora, R., C. 2016. Umpasa dalam Acara Adat Batak Toba ManulangiNatua-Tua di Kecamatan Pagaran Tapanuli Utara (Kajian Pragmatik). 

Sinaga, B. 2017. Inovasi Model Pembelajaran Berbasis Budaya Batak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun