Mohon tunggu...
Agus Pribadi
Agus Pribadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Mencoba menghayati kehidupan dan menuliskannya dalam cerita-cerita sederhana. Kunjungi juga tulisan saya di http://aguspribadi1978.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roda-roda Hidup

26 Oktober 2012   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Roda-roda Hidup

Cerpen Agus Pribadi

Siapa yang tak memendam bara dalam dada, jika harga diri di lempar cercaan dan hinaan. Namun aku tak punya kuasa tuk meredam semua. Aku hanya bisa berdoa semoga roda hidupku segera berputar.

Aku baru keluar dari dalam kelas. Ingin rasanya sampai ruang guru dimana segelas besar teh manis akan menggelontor kerongkonganku yang sejak jam tujuh pagi hingga siang ini menceramahi dan membimbing anak-anak didikku.

“Wah guru palsu baru mengajar ya?” dengan nada mengejek seorang teman yang sudah lama mengajar di sekolah ini menyapaku. Aku tercekat, rasa haus sepertinya hilang tertimpa rasa pahit yang tiba-tiba menyergap kerongkonganku. Aku hanya menahan amarah dalam diri dengan seulas senyuman. Meski pertanyaan candaan, namun efeknya mampu membuat sayatan di hatiku.

Aku memang bekerja sebagai guru honorer atau guru tidak tetap di sekolah milik pemerintah ini. Sudah hampir empat tahun aku mengabdikan diri ikut mencerdaskan anak-anak bangsa dengan penghasilan ala kadarnya. Karena statusku yang bujang, aku tidak terlalu memikirkan ekonomi. Namun aku harus selalu menahan agar kuping tidak berwarna merah karena ejekan dan cercaan dari beberapa temanku.

Tidak itu saja yang aku terima. Suatu ketika saat aku sedang lembur mengetik di depan layar monitor bersama teman yang lain, aku juga mendapat sindiran dan ejekan sejenis.

“Kamu bisa jadi tetap seperti ini sampai tua ya?” temanku bertanya dengan nada humor. Namun demikian aku merasa sangat terpukul waktu itu. Ingin rasanya aku mengakhiri saja masa pengabdianku di sekolah ini. Ingin rasanya bekerja di tempat lain yang lebih menghargaiku sebagai sama-sama rekan kerja. Memang tidak semua temanku memperlakukanku seperti itu. Banyak juga yang baik terhadapku, menghargaiku sebagai sama-sama seorang guru, hanya statusnya saja : aku GTT, mereka Guru PNS. Seperti Pak Budiman seorang lelaki yang berpenampilan bersahaja, umurnya hampir dua kali umurku. Ia yang selalu memotivasiku untuk bertahan, dan meyakinkanku kelak roda pasti akan berputar.

“Lho kamu kok melamun?” Pak Budiman mengagetkanku. Aku yang sedari tadi duduk mendiamkan gelas besar berisi teh manis.

“Gak kok, lagi istirahat saja,” kilahku. Aku meneguk teh yang sedari tadi aku diamkan. Ada rasa hangat menjalari kerongkonganku, meredakan amarah di dadaku.

***

Tettttt...tettttt...tettttt! Tiga kali bel sekolah berbunyi, pertanda saatnya pulang ke rumah. Aku meninggalkan ruang guru dengan tas di pundak, dan kunci motor di tangan. Aku tak punya motor, aku memakai motor kakakku yang dipinjamkan kepadaku. Saat melangkah di samping ruang guru, aku melihat Pak Budiman duduk seorang diri, sementara guru-guru lain telah pulang ke rumah masing-masing menyibak anak-anak yang juga berebut pulang.

“Yuk bareng Pak!” Ajakku pada Pak Budiman, padahal rumah Pak Budiman berlawanan arah dengan rumahku, maksudku rumah ibuku. Tapi sudah beberapa bulan ini, sejak motornya rusak, aku sering mengantar Pak Budiman sampai ke rumahnya. Sampai pernah terdengar gosip aku sedang pendekatan dengan anak semata wayang Pak Budiman yang jelita.

“Aku nunggu mobil angkutan saja,” jawab Pak Budiman.

“Ayolah Pak.”

Aku dan Pak Budiman melaju. Di perjalanan aku berbincang tentang lowongan tes CPNS yang akan segera di buka pada bulan depan.

“Kamu ada peluang,” Pak Budiman menyemangatiku.

“Tapi ijazahku kan dari umum bukan kependidikan, Pak?” aku tak cukup percaya diri karena sudah empat kali aku gagal tes CPNS.

“Tapi kamu kan sudah mengambil akta mengajar, semoga tahun ini kamu diterima.”

“Amien.”

***

Kabar aku akan mendaftar pada penerimaan CPNS tahun ini terdengar di segenap sudut-sudut sekolah, termasuk ruang guru. Banyak cibiran dan cercaan yang aku terima. Bukannya memberi dukungan, ada teman yang seperti telah menjadi petugas panitia penerimaan tes CPNS.

“Ijazah akta mengajar tak akan laku. Kamu tak akan lolos seleksi adminitrasi.”

Mendengar itu aku menciut. Namun itu semua tak terbukti karena beberapa hari setelah mendaftar, aku menerima surat balasan yang isinya aku LULUS seleksi administrasi. Aku sangat bersyukur. Tinggal menunggu waktu tes tiba. Dimana aku akan berperang di medan laga, bersaing dengan ratusan pendaftar lainnya untuk memperebutkan satu kursi yang sesuai dengan jurusanku.

***

Aku mendengar kabar Pak Budiman sakit saat satu hari jelang aku tes CPNS. Aku menjenguknya di rumah sakit. Bibir lemahnya masih bisa berucap menyemangatiku,

“Kamu tak perlu mendengarkan ocehan mereka yang mencercamu. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Kamu harus berjanji padaku, kamu pasti BERHASIL!”

Aku mengangguk dengan linangan air mata di pipiku yang tak mampu kubendung. Aku berjanji akan mengerjakan soal tes CPNS dengan sebaik-baiknya.

***

Pagi hari. Beberapa minggu setelah mengikuti tes CPNS, tibalah saat pengumuman. Aku mencari koran di perempatan. Segera kutelusuri nama-nama peserta tes CPNS tahun ini yang diterima. Aku melonjak saat ada namaku di koran itu. Aku diterima!

Aku segera menelpon Pak Budiman untuk mengabarkan kabar baik ini. Namun yang mengangangkat telpon anaknya.

“Maaf, bapak tidak bisa mengangkat telpon. Kondisi bapak semakin memburuk,” suara gadis di dalam telfon terdengar terisak. Aku langsung menuju rumah sakit. Di sana orang-orang sudah berkumpul. Mereka adalah sanak saudara. Ada apa ini?

Aku berusaha menyibak kerumunan orang di ruangan serba putih itu. Aku mendapati tubuh Pak Budiman terbujur kaku.

“Aku diterima Pak!” Aku berteriak sesunggukkan, memeluk tubuh Pak Budiman yang tak lagi bergerak selamanya. Orang-orang menenangkanku.

***

Kini aku menjadi kepala sekolah di sekolah yang dulu kujadikan tempatku mengabdi. Roda benar-benar telah berputar. Orang-orang yang dulu mengejek dan mencercaku telah meminta maaf kepadaku. Sebuah keadaan yang tak aku inginkan, dua orang yang dulu suka mengejekku di awal pensiunnya terkena stroke. Saat aku mengunjungi mereka di rumah masing-masing, mereka hanya mampu melinangkan air mata. Air mata penyesalan di masa lalu karena telah merendahkanku.

Sore itu sepulang dari sekolah aku menyempatkan mampir ke tempat peristirahatan terakhir Pak Budiman. Aku menaburkan bunga-bunga di atas pusaranya.

“Istirahatlah dengan tenang guruku.”

Banyumas, 26 Oktober 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun