Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Ikhtiar Singapura dalam Meningkatkan Jumlah Kelahiran

13 Agustus 2020   09:55 Diperbarui: 21 Oktober 2020   07:59 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena fokus untuk meniti tangga karir di perusahaan, maka berikutnya setelah terlambat menikah maka masalahnya lagi adalah telat melahirkan anak. Keterlambatan merupakan sesuatu yang disengaja atau direncanakan, yaitu 1 tahun atau 2 tahun setelah menikah baru akan melahirkan. Bahkan banyak yang lalai sampai istri berumur 40 tahun belum juga memiliki momongan, lalu mengandalkan teknologi bayi tabung (in vitro fertilisation) untuk mendapatkan anak. Belakangan banyak pasangan di Singapura yang mengandalkan bayi tabung sebagai ikhtiar mendapatkan anak yang keberhasilannya ternyata tidak bisa dipastikan.

Sedangkan permasalahan yang utama yaitu sedikitnya jumlah anak yang dimiliki, tentu ini disebabkan juga oleh tingkat kesadaran dari masyarakat Singapura terhadap impian hidup yang berkualitas. Setiap pasangan akan berhitung terhadap berbagai konsekuensi yang ditimbulkan dalam melahirkan anak.

Dalam hal ini yang pertama, daya dukung dari apartemen ataupun hunian lainnya, terkait kelayakan untuk memiliki anak lebih dari 2 atau 3. Tentu saja dengan hanya ruang tidur yang cuma 1 atau 2 maka sulit untuk bisa dipaksakan memiliki anak sesuka hati.

Yang kedua terkait dengan biaya membesarkan dan pendidikan si anak serta biaya liburan keluarga, yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini harus dipertimbangan karena tingkat atau besarnya subsidi dari negara sifatnya terbatas. Dengan demikian jumlah anak yang akan dilahirkan akan menjadi pertimbangan yang matang.

Dan yang ketiga adalah masalah kenyamanan, dimana ada banyak keluarga yang terganggu dengan proses melahirkan maupun kehadiran banyak anak.

Jadi kesimpulannya adalah, keluarga di Singapura ingin menggapai hidup yang berkualitas, dan berpendapat bahwa pembatasan kelahiran adalah syarat penting untuk itu.

Pelajaran bagi Indonesia

Dibanding dengan Singapura, dari segi jumlah penduduk, tentu saja Indonesia bukanlah tandingan. Jumlah penduduk asli Singapura yang hanya 3,5 juta melebihi jumlah bayi yang lahir setiap tahunnya di Indonesia yaitu yang mencapai 4,5 juta. Artinya permasalahan kependudukan di Singapura memiliki latar belakang yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Demikian pula jauhnya perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dimana Singapura negara yang sudah maju dan makmur sementara Indonesia masih sedang proses bercita-cita. Sehingga bisa jadi tidak ada kaitannya apa yang terjadi di Singapura yaitu angka TFR yang terus menurun dengan fakta di Indonesia dimana angka TFR yang sulit turun.

 Walaupun demikian ada yang bisa diambil pelajaran dari pengalaman Singapura dan berbagai negara dengan TFR rendah. Dalam hal ini pengalaman Singapura yang justru terus mendorong rakyatnya agar banyak-banyak punya anak tidak perlu terjadi di Indonesia yaitu kalau Indonesia mengantisipasi dari sekarang angka TFR-nya.

Adapun untuk Indonesia angka TFR menurut hasil dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang terakhir dilaksanakan yaitu SDKI tahun 2017 memperlihatkan TFR rata-rata nasional mencapai 2,4 yang bergerak di angka 2,1 sampai 3,4 antar provinsi. Provinsi yang memiliki TFR pada titik penggantian yaitu sama dengan 2,1 adalah Jawa Timur dan Bali. Kedua provinsi inilah yang paling rendah TFR-nya. Karena tidak ada satu provinsipun yang berada dibawah TFR 2,1. Sedangkan TFR tertinggi dimiliki oleh provinsi NTT dengan TFR 3,4.

indo-tfr-5f8f874e8ede48274f1c6f92.jpg
indo-tfr-5f8f874e8ede48274f1c6f92.jpg
Perbedaan atau selisih desa dan kota cukup besar dimana TFR kota 2,3 sedangkan desa mencapai 2,6. Ini berarti tantangan di desa masih tinggi untuk menurunkan angka kelahiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun