Di tengah hiruk pikuk dunia digital serta tekanan hidup kota yang semakin berat, kita sering melihat anak-anak berkeliaran di jalan malam hari, bersantai di pinggir jalan, atau menghabiskan waktu berjam-jam dengan ponselnya serta tempat yang jauh dari pengawasan keluarga. Mereka masih bersekolah, banyak dari mereka masih SMP dan SMA. Bukan karena mereka "nakal" tetapi mungkin karena mereka tidak memiliki tempat lain yang membuat mereka merasa dihargai dan diterima.
Fenomena ini tidak hanya muncul di kota-kota besar. Di daerah pun, banyak anak-anak yang 'hilang' dari keluarga. Hal ini yang mungkin  mendorong Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) untuk memulai program pendidikan karakter bagi anak-anak yang dikenal hidup tanpa perhatian aktif orang tua. Kang Dedi mengajak mereka, membina mereka, bahkan berbicara secara  langsung,  terbuka dan menyentuh emosi.
Program ini menarik banyak perhatian. Beberapa orang memuji hal itu sebagai bentuk kehadiran negara secara nyata, sementara yang lain mengkritik  karena dianggap tak memberi ruang tumbuh alami bagi anak-anak. Di Senayan, anggota legislatif menyatakan bahwa program tersebut kurang etis karena dinilai memaksa dan tidak berpihak pada  hak-hak anak.
Tetapi terlepas dari semua pro dan kontra itu, satu hal yang perlu kita pikirkan bersama adalah mengapa program ini ada dan jadi penting? Apakah rumah sebagai tempat pertama dan utama untuk pendidikan karakter sudah mengalami krisis peran?
Rumah yang Sibuk, Anak yang Sepi
      Saat ini tidak sedikit  orang tua menghadapi tuntutan ekonomi  dan sosial yang tidak mudah. Banyak yang harus kerja dari pagi sampai malam hanya untuk bertahan hidup. Di sisi lain, gawai  dan media sosial mengambil waktu berkualitas yang seharusnya dinikmati dengan keluarga. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam ruang hampa. Secara fisik mereka ada di rumah tetapi secara batin mereka jauh dari jangkauan nilai dan kasih sayang.
      Kita sering tidak ingat, bahwa sifat anak tidak hanya  dibentuk oleh kata-kata motivasi atau pidato guru di sekolah. Ia tumbuh dari suasana rumah yang mampu memberikan keteladanan. Anak belajar jujur dari ayah dan ibunya yang tidak membuat kata curiga. Anak belajar sabar dari ibunya yang tidak mudah marah saat lelah. Anak belajar peduli dari orang tuanya yang mengajak mereka berbagi kepada tetangga.
Sayangnya, hal-hal seperti ini makin jarang. Kita lebih sering berteriak supaya anak "punya karakter baik" tetapi kadang-kadang lupa memberi contoh nyata di aktivitas sehari-hari.
Pemerintah Hadir, Tapi Jangan Lupakan Rumah
Program seperti yang dikerjakan Kang Dedi Mulyadi menjadi pemantik kita semua. Saat  pemimpin daerah hadir, dengan  memberi ruang untuk pembinaan, bahkan menyiapkan kegiatan lain bagi anak-anak yang mudah jatuh ke perilaku menyimpang.  Hal itu baik , tetapi tidak cukup
Pendidikan karakter bukan pekerjaan  lembaga. Tetapi merupakan  pekerjaan sehari-hari yang sangat pribadi dan penuh rasa. Pemerintah tidak mungkin mengganti pelukan seorang ayah. Negara tidak bisa sebagai penyedia rasa aman dan kedekatan yang hanya bisa muncul dari komunikasi dalam keluarga.