Pendahuluan
Di daerah tempat saya dibesarkan, ada satu pelesetan yang dulu hanya terdengar sebagai guyonan warung kopi. Tapi makin ke sini, pelesetan itu justru terasa semakin relevan bahkan getir. Orang-orang biasa bilang:
"Neangan gawe mah kudu boga 3D." Artinya, cari kerja itu harus punya 3D singkatan dari Duit (uang), Deukeut (Dekat), dan Dulur (Kerabat/Saudara).
Awalnya saya kira ini hanya sekadar candaan. Tapi setelah melihat realitas lapangan, saya paham bahwa di balik kelakar itu tersimpan kritik sosial yang tajam.Â
Tiga huruf ini ternyata menyimpan makna terselubung: Bahwa untuk mendapatkan pekerjaan, seseorang harus punya uang pelicin (Duit), akses ke orang dalam (Deukeut), atau kedekatan personal seperti saudara atau sahabat (Dulur).
Pertanyaannya, apakah ini menjadi syarat tak tertulis untuk menjadi kandidat idaman di mata HRD?
Duit: Uang Pelicin atau Modal Kompetensi?
Dalam konteks ideal, duit bisa diartikan sebagai investasi pendidikan, biaya pelatihan, dan peningkatan diri. Namun dalam versi 3D, duit lebih condong bermakna negatif: Suap, pelicin, atau ongkos belakang layar agar seseorang bisa diloloskan.
Saya pernah mendengar langsung kisah pencari kerja yang gagal lolos bukan karena tak kompeten, melainkan karena tidak setor seperti kandidat lain. Praktik ini memang sulit dibuktikan secara hukum, namun jejak-jejaknya bisa terasa dari cara wawancara yang formalitas semata, hingga proses seleksi yang hasilnya sudah bisa ditebak.
Deukeut: Koneksi, Relasi, atau Nepotisme?