Di banyak daerah di Indonesia, kekhawatiran seorang ibu terhadap jodoh anak perempuannya bukanlah hal yang asing. Saat usia sang anak menginjak batas dewasa, tekanan sosial mulai terasa semakin kuat.Â
Tetangga, kerabat, dan bahkan orang tua sendiri mulai mempertanyakan: "Kapan menikah?" atau "Apa tidak takut jadi perawan tua?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kerap menjadi beban, bukan hanya bagi sang anak, tetapi juga bagi orang tua, terutama ibu.Â
Namun, apakah kekhawatiran ini benar-benar beralasan? Sejauh mana budaya dan tekanan sosial mempengaruhi pemikiran kita tentang jodoh dan pernikahan?
Pernikahan dalam Perspektif Budaya
Di masyarakat tradisional, pernikahan sering dianggap sebagai fase wajib dalam kehidupan seseorang. Perempuan yang belum menikah pada usia tertentu kerap dicap sebagai terlambat atau bahkan dianggap ada sesuatu yang salah dengannya.Â
Dalam budaya patriarki, peran perempuan sering kali dikaitkan dengan pernikahan dan rumah tangga. Oleh karena itu kekhawatiran seorang ibu lebih dari sekadar soal kebahagiaan anaknya, hal ini juga menyangkut harga diri keluarga dan pandangan masyarakat terhadap mereka.
Namun, dunia terus berkembang. Saat ini, semakin banyak perempuan yang memilih menunda pernikahan demi pendidikan, karier, atau menemukan pasangan yang benar-benar cocok.Â
Perubahan pola pikir ini sering kali bertabrakan dengan pemahaman orang tua yang masih berpegang teguh pada norma tradisional.
Antara Harapan dan Realitas
Sebagai seorang ibu, keinginan melihat anaknya menikah bukanlah sesuatu yang salah. Kekhawatiran ini sering kali muncul dari rasa cinta dan kepedulian.Â