Mohon tunggu...
Agus Ferdinand
Agus Ferdinand Mohon Tunggu... profesional -

Tertarik dengan sains, sejarah, peta, membaca, dan jalan2

Selanjutnya

Tutup

Politik

Megalomania, Pertanda Akhir Sebuah Kekuasaan?

20 November 2011   06:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Sumber : olahan pribadi dari berbagai sumber)

Salam

Aleksander Agung,  pemimpin besar dunia lampau dari Kekaisaran Makedonia, konon mengalami goncangan mental hebat setelah sahabat karibnya Hephaistion meninggal. Dia masa-masa akhir kehidupannya itu, Aleksander mengalami fase megalomania akut. Dalam keadaan ini, Aleksander selalu merasanya dirinya sebagai titisan Dewa Zeus dan ditakdirkan untuk mashyur dan jaya. Perilaku ini tidaklah mengejutkan karena bibit-bibitnya sudah dirasakan dalam tahun-tahun kejayaannya. Sudah diketahui bahwa niat Aleksander adalah menguasai dunia sampai ke ujungnya untuk mempersatukannya dalam kebudayaan Yunani. Walaupun para anak buah dan tentaranya sudah kelelahan, Aleksander tetap nekad dalam pendiriannya. Dia yakin terlalu percaya diri dengan kehebatannya dalam peperangan terdahulu. Akhirnya, Alexander pun mundur bersama pasukannya ketika akan menyebrangi Sungai Gangga tahun 325 SM karena kelelahan.  Tapi, wibawa Aleksander semakin berkurang di mata anak buahnya hingga meninggalnya pada Juni 323 SM.  Jika dirunut dari awal, sifat megalomania Alexander tampaknya mulai ditanamkan oleh ibunya Olympia ketika dia masih kecil.

Lalu, apakah megalomania itu? Megalomania berasal dari bahasa Yunani “megalo” yang berarti “mahabesar” atau “termashyur”, dan “mania” yang berarti gila atau obsesif. Dapat dikatakan bahwa megalomania adalah obsesi berlebihan terhadap kemuliaan, kekuatan, kejayaan, dan kemahabesaran diri yang terkadang pada kenyataannya tidak lebih dari angan-angan atau fantasi belaka. Seseorang yang sudah terjangkit megalomania pada dasarnya akan tetap ngotot mempertahankan pandangan “kemahaannya” walaupun tak sesuai kenyataan.

Megalomania bisa terjadi kepada siapa saja. Namun, bakat perilaku ini sering ditemui dalam orang-orang yang memegang posisi pemimpin, khususnya pemimpin suatu bangsa. Kekuasaan yang besar, disertai dengan kesempatan untuk membuktikan kemuliaan dan kejayaan menciptakan celah bagi pemimpin untuk bertindak irasional dan cenderung narsistik. Pemimpin seperti itu hanya berpikir untuk kepuasan diri pribadi tanpa perlu lagi memikirkan amanah yang dia emban. Dia hanya memikirkan untuk melanggengkan kekuasaan dan kejayaan dengan segala cara seperti pencitraan berlebihan ataupun represi. Patut diperhatikan, perilaku menyimpang ini juga ditentukan oleh keberadaan orang-orang di sekitarnya. Seorang megalomaniak susah untuk dihentikan jika orang sekelilingnya adalah kelompok yang pasif, takut bertindak dan berinisiatif, atau malah cenderung menjilat dan ABS (asal babe senang). Khusus dari kelompok yang terakhir, si megalomaniak akan terus merasa mendapatkan dukungan.

Dalam sejarah, tidak sedikit para pemimpin yang menjadi seorang megalomaniak. Ada yang sudah akut, ada juga yang masih “coba-coba” alias baru kecenderungan. Dalam dunia lampau, selain Aleksander Agung yang sudah dibahas di atas, ada juga Caligula, kaisar Romawi yang terkenal sinting, sadis, dan super narsistik. Dizaman modern, diktator-diktator macam Adolf Hitler dan Benito Musollini adalah megalomaiak yang mengembangkan kultus romantis masa lalu tentang kejayaan ras dan bangsanya yang berada di atas ras dan bangsa lain. Ada juga yang menciptakan kultus individu seperti Joseph Stalin dan Kim Jong Ill, yang juga menciptakan pemujaan bagi ayahnya (Kim Ill Sung). Selain dari kepemimpinannya, umumnya mereka juga gemar untuk menciptakan karya-karya seni privat dan publik yang menonjolkan “kemuliaan” mereka, seperti patung, lukisan, monumen, dan ukiran.

Patung Kim Ill Sung, "Presiden Seuumur Hidup" Korea Utara

(Sumber : texemarrs.com)

Bagaimana dengan bangsa kita? Memang akan ada sedikit perdebatan. Namun saya sepakat jika Sukarno dan Suharto, dua orang mantan presiden kita, memiliki kecenderungan menjadi seorang megalomaniak.  Sukarno, sebagai seorang proklamator dan salah satu Bapak Bangsa,  mendeklarasikan dirinya menjadi Presiden Seumur Hidup pada tahun 1963. Terlepas dari strategi-strategi politik tertentu yang digulirkan oleh orang-orang dekat Sukarno kala itu, pendeklarasian ini menunjukkan sifat kepercayaan diri yang amat tinggi dan cenderung berlebihan.  Selain itu, “narsisme” Bung Karno tampak dalam hal-hal kecil seperti penamaan fitur-fitur geografis dan arsitektural. Ada Jembatan Sukarno (sekarang Jembatan Ampera), Gelora Bung Karno, Sukarnopura (sekarang Jayapura), Puncak Sukarno (sekarang Puncak Jaya atau Cartenz Pyramid) dan penamaan-penamaan lainnya. Yang tentunya tidak ketinggalan adalah penggambaran “Sang Pemimpin Besar Revolusi” dalam mata uang kertas yang oleh kolektor uang kuno sekarang sering disebut sebagai “uang Sukarno”. Mata uang ini dikeluarkan mulai tahun 1960.

"Uang Sukarno" keluaran tahun 1960

(Sumber : mataram.olx.co.id)

Berlanjut ke Suharto, presiden kedua kita ini mentahbiskan dirinya sebagai “Bapak Pembangunan”. Bahkan ada himnenya juga yang dikarang oleh Titiek Puspa pada akhir tahun 80-an kalau tidak salah. (Saya yakin banyak yang masih ingat beberapa liriknya, hehehe...) Pak Harto juga membangun museum Purna Bhakti Pertiwi pada tahun 1993. Tujuan pembangunan museum adalah untuk “membagikan” pengalaman kehidupan dan perjuangan Pak Harto yang juga menjadi pengalaman seluruh bangsa Indonesia. Barang-barang yang dipamerkan dalam museum tentu saja berhubungan dengan Soharto (dan Ibu Tien) dengan segala jasa, kehebatan, dan “kemuliaannya”. Sama seperti Bung Karno, Pak Harto juga “numpang mejeng” di mata uang nominal 50 ribu rupiah yang merupakan nominal tertinggi saat itu mulai tahun 90-an awal.

"Uang Suharto"

(Sumber : harmanto.blogdetik.com)

Banyak memang yang membela perilaku “narsistik” para pemimpin dan diktator adalah untuk membentuk “character building” suatu bangsa. Pemimpin seperti raja atau presiden adalah simbol kekuasaan yang harus dihormati dan dimuliakan sehingga dapat menjadi elemen pemersatu yang utuh, solid, dan sempurna bagi negara atau kerajaan yang dipimpinnya.Tapi diluar perdebatan itu, ada satu hal menarik yang merupakan benang merah dari berbagai kasus para pemimpin yang diuraikan di atas. Benang merahnya adalah ketika para pemimpin tersebut menjadi seorang megalomaniak ataupun memiliki kecenderungan menuju kesana, seiring itu pula masa kejatuhan mereka semakin dekat. Ini hampir terjadi di semua pemimpin tadi. Aleksander, hampir 2 tahun setelah kematian Hephaistion, akhirnya meninggal karena kesehatannya yang memburuk (ada beberapa versi sejarawan yang mengatakan bahwa dia diracun). Caligula, setelah setahun dia mentahbiskan diri sebagai dewa, dia dibunuh oleh anak buahnya tahun 41 M. Adolf Hitler, pada fase akhir kekuasaanya dia berimajinasi bahwa Jerman dalam pimpinannya masih dapat memenangi perang dengan sekutu. Padahal hanya tinggal tunggu waktu saja Tentara Merah untuk memasuki Berlin di tahun 1945.

Bung Karno, mulai goyah kekuasaannya tahun 1965 setelah sebelumnya menjadi pemimpin seumur hidup dan mengabadikan nama dan wajahnya pada macam-macam benda. Pak Harto pun kita tahu sendiri bagaimana nasibnya pada paruh akhir 90-an ketika beberapa tahun sebelumnya “bernarsis” ria. Lalu, apakah di negara kita sekarang ini sudah tidak ada lagi kecenderungan pemimpin megalomaniak?

Mungkin pembaca bisa menilai gambar-gambar di bawah ini.

Eksterior Dome SBY

(Sumber : kaskus.us)

Interior Dome SBY

(Sumber : kompas.com)

Interior Dome SBY

(Sumber : kaskus.us)

Dome SBY adalah salah satu fitur yang bisa dinikmati di KTT ASEAN XIX Nusa Dua Bali. Dome yang digunakan untuk menerima tamu negara ini berisi foto-foto  dan lukisan SBY berserta Ibu Negara . Selain itu, terdapat juga piringan album-album SBY, lengkap dengan pemutar dan headset untuk mendengar.  Seperti yang telah diketahui, SBY sudah merilis 4 buah album “megahits” (hehehe).

Apakah itu perilaku narsistik atau malah cenderung megalomaniak?

Apakah itu pertanda akhir dari kekuasaan yang sudah amat dekat?

Saya tidak mau berspekulasi, Biar pembaca sekalian yang menafsirkannya sendiri.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun