Mohon tunggu...
agus budiarta
agus budiarta Mohon Tunggu... profesional -

setiap langkah gerakan riil lebih penting dari selusin program

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perempuan dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan

26 April 2013   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_250197" align="aligncenter" width="300" caption="Foto: Dok. Pribadi"][/caption]

Menjelang Pileg 2014, wajah perempuan Indonesia semakin Sumringah. Maklum amanat UU Pemilu dengan tegas mengatakan 30% kuota diberikan bagi perempuan dalam daftar caleg di semua dapil. Bagi partai yang tidak memenuhi kouta 30%, maka partai tersebut langsung dicoret dari daftar caleg di dapilnya tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah peremupuan mampu untuk memenuhi kuota tersebut?. Hal ini sempat mengemuka dalam seminar bertema, “Dengan Semangat KartiniKita Dorong Dan Tingkatkan Kemampuan Perempuan Di Bidang Politik Yang Berbudaya, dalam rangka peringatan hari kartini Kabupaten Sleman Kamis, (25/4/2013).

Esti Wijayati, Anggota DPRD DIY Fraksi PDI-Perjuangan mengatakan, perempuan dan politik tidak bisah dipisahkan. Alasannya cukup sederhana, segala proses dalam rumah tangga, merupakan keputusan politik. Jadi sehari-harinya, perempuan sudah terbiasa mengambil keputusan bersama keluarganya. Demikian Esti Wijayati menjelaskan.

Lebih jauh Esti Wijayati mengatakan, politik itu harus menjadi bagian dari kehidupan kaum perempuan. Alasannya adalah, Pertama, apa yang kita sebut sebagai “alasan keadilan dan kesetaraan”. Alasan ini sifatnya sangat normatif atau prinsipil. Mengingat perempuan berjumlah sekitar 50% dari penduduk dunia, maka mereka secara prinsipil juga harus terwakili secara sama di ranah politik, khususnya di parlemen. Ini akan lebih demokratis, representatif dan adil dan sejalan dengan norma-norma HAM.

Kedua, Alasan lain yang tidak kalah pentingnya dan sering tidak bisa dipahami banyak orang, adalah apa yang kita sebut sebagai “alasan kepentingan perempuan”.

Ketiga, “alasan emansipasi dan perubahan” emansipasi perempuan dari dahulu, saat ini hingga kedepannya nanti, merupakan keniscayaan sejarah. Banyak produk UU, PP, Perda, Konvensi dan lainnya yang sejenis lahir akibat perjuangan panjang emansipasi perempuan.

Keempat, Alasan lainnya “Perempuan membuat perbedaan”. Ada banyak penelitian tentang perempuan dan politik mengungkapkan bahwa ternyata perempuan tidak hanya sekedar hadir dalam dunia publik, tapi juga membawa perubahan atau mewarnainya.

Untuk itulah, Esti mengharapkan agar kedepannya, perempuan Indonesia semakin berani dan tertantang terlibat dalam politik praktis. Kuota 30% bagi kaum perempuan saat ini harus menjadi lecutan semangat bagi kaum perempuan.

Namun demikian kuota 30% tersebut jangan hanya sekedar euforia belaka, akan tetapi, harus disambut dengan peningkatan kualitas, kapasitas, kapabilitas dan responsibilitas perempuan dalam politik. Dengan demikian kuota 30% bagi perempuan tidak hanya sekedar “memenuhi” keinginan UU Pemilu, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup bagi perempuan serta kualitas bangsa dan negara kedepannya. Lanjut Esti.

[caption id="attachment_250198" align="aligncenter" width="300" caption="Esti Wijayati, Anggota DPRD DIY, saat menyampaikan materinya."]

1366947854684562802
1366947854684562802
[/caption]

Sementara itu, Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu mengatakan, semangat kartini harus tetap hidup hari ini, esok dan selama-lamanya. Jiwa kartini harus terpatri dalam diri setiap perempuan Indonesia.

“kita harus lebih maju dari sterotipe “dapur, kasur dan sumur”. Perempuan harus bisa membawa perubahan bagi perempuan lain serta bagi bangsa dan negara”. Kata Yuni.

Untuk itu, kuota 30% bagi perempuan dalam Pileg 2014, harus diambil oleh perempuan agar kedepannya perempuan-perempuan Indonesia mampu bersaing dengan kaum laki-laki dibidang legislatif maupun dibidang eksekutif. Lanjut Yuni.

[caption id="attachment_250199" align="aligncenter" width="300" caption="Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu (foto : dok. pribadi)"]

1366947971422508922
1366947971422508922
[/caption]

Pemibacara lainya, dari Pusat Studi Wanita UGM, Sri Natin mengatakan, saat ini komposisi perempuan yang duduk di parlemen, pemerintahan maupun bidang lainnya masih sangat berbeda jauh dibandingkan dengan laki-laki.

Di DPR RI saja, baru mencapai angka 20%. Demikian juga halnya di DPRD DIY, perempuannya baru memenuhi angka 20,18 %. Sedangkan di DPRD Kabupaten/Kota, angka keterwakilan perempuan baru mencapai 10-15%. Kondisi yang sama juga terjadi di Pemerintahan. Perempuan yang duduk di eselon I-IV, masih sangat minim, rata-rata rasionya masih berada dipusaran 10% saja. Lanjut Sri Natin menjelaskan.

Acara yang selenggarakan oleh Pemda Kabupaten Sleman tersebut, dihadiri oleh berbagai perempuan dengan berbagai latar belakang. Dari parpol, ibu rumah tangga, akademisi, pemerhati perempuan, serta perwakilan siswi SMA yang ada di Kabupaten Sleman.***

[caption id="attachment_250201" align="aligncenter" width="300" caption="Pemateri dari Pusat Studi Wanita UGM, Sri Natin (foto: dok. pribadi)"]

1366948113620152304
1366948113620152304
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun