Mohon tunggu...
ortega68
ortega68 Mohon Tunggu... -

Dari rakyat kecil dan berjuang untuk rakyat kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Wong Cilik III: Do'a Kubur Mbok Tarmi di Makam Suaminya

6 September 2011   04:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  [caption id="attachment_128491" align="alignleft" width="324" caption="sumber gambar : qohhar7abadi.wordpress.com"][/caption]  

“Le....ndang cepet ganti baju, kita mau ke kuburbapakmu , mengko kawanen (nanti kesiangan)” ucap mbok Tarmi sambil mengoleskan bedak bengkoang di depan cermin yang diselipkan di dinding bambu rumahnya. Cermin itu mbok Tarmi dapatkan ketika tetangganya pindahan dan kaca cermin yang dilemarinya pecah berkeping-keping.

“ Baju yang mana mbok, masa dari dari tahun ke tahun yang itu-itu aja....” kilahnya dengan mimik sedikit manyun.

“ Sudah jangan protes, nanti kalau mbokmu gajian beli yang baru, wong den Pomo lagi pulang lebaran ke Jogja..., pesan Den Pomo nanti selesai lebaran baru gajian,Mbok janji..”.

“ Habis dari kubur nanti terus pulang aja yaMbok, saya malu sama kawan-kawan. Masa’ yang lain pakai baju baru, sepatu baru ”

“Iyo......., wis ojo kesuwen saline (sudah jangan kelamaan ganti bajunya)”

“Ya Allah Gusti.......berikan kesabaran pada hambamu dalam meniti hidup yang penuh cobaan ini” Do’a Mbok Tarmi dalam hati sambil megamati Si Tole yang masih sibuk menyisir rambutnya yang jabrik sebab asal potong sama Bejo tetangga sebelah yang sedang memimpikan jadi tukang cukur karena gagal panen.

Makam suami Mbok Tarmi berjarak kurang lebih satu kilimeter dari rumah. Jika ditempuh dengan jalan kaki kurang lebih setengah sampai satu jam. Suami Mbok Tarmi dulu seorang tukang becak, meninggal setahun lalu karena penyakit sasak nafas menahun yang dideritanya. Yang selalu disesalkan oleh Mbok Tarmi adalah ketika suaminya membutuhkan oksigen sebagai pertolongan pertama di Puskesmas terdekat ternyata kehabisan oksigen, dan nyawa suami Mbok Tarmi pun meregang dan “Innalillahi wa Innailaihi rajiun”.

Sesampai di makam suaminya terus saja Mbok Tarmi membersihkan Nisan suaminya yang terlihat tidak terurus kemudian dilanjutkan dengan membersihkan rumput liar di atas makam. Maklum......letak makam suaminya berada di kelas III yang diperuntukkan masyarakat setempat yang kurang mampu. Posisi makan sedikit masuk ke dalam, tepatnya di semak belukar alang-alang.

“Mas...., tahun ini Pak Nazaruddin ndak bagi-bagi zakat, menurut cerita orang-orang di kampung, katanya sih Pak Nazaruddin masuk penjara karena Korupsi” keluh Mbok Tarmi, seperti kebiasaannya ketika curhat semasa suaminya masih hidup.

“Mas.....ndak usah khawatir, aku sudah diterima kerja di rumah Den Pomo sebagai babu...., sekalipun banyak orang-orang bilang Den Pomo itu pejabat korup, tapi itu hanya fitnah belaka. Wong lebaran saja nggak bisa ngasih THR, katanya sih tidak punya uang lebih, beliau sering bilang pada saya “Hidup itu sementara, kudu akeh elinge (harus banyak ingat), harus jujur, sekalipun kurang mujur”.

Den Pomo juga cerita kalau harta yang beliau miliki saat ini merupakan harta warisan orang tuanya. Sebagai pedagang kelontong yang sukses, bapaknya dapat meninggalkan waris yang lumayan banyak untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Kalau Den Pomo memilih jadi PNS, karena jaman dulu PNS yang namanya PNS itu posisi terhormat di mata masyarakat. Justru karena tanggung jawabnya sebagai PNS, Den Pomo tidak bisa melanjutkan usaha orang tuanya.

“ Mbok....., ada dokter nyambi (sambilan) jadi rentenir...... iku jane (itu sebenarnya) melanggar kode etik, ada guru nyambi tani atawa ngojek...., iku yo rasane (itu ya sepertinya) kurang tanggung jawab sama pekerjaannya. Tidak usah heran kalau jaman sekarang pelayanan terhadap masyarakat semakin buruk, seperti kasus yang terjadi terhadap suamimu itu lho. Tetapi pemerintah daerah main bureng (pura-pura tidak tahu) yang penting tidak mengganggu kesibukannya kembalikan modal kampanye....”. Rupanya keluhan Den Pomo itulah yang membuat Mbok Parmi mengambil kesimpulan bahwa apa yang banyak dibicarakan orang sekitar bahwa Den Pomo pejabat korup hanyalah fitnah belaka.

Dalam do’a terakhir di depan makam suaminya, mbok Tarmi berucap :

“ Mas....sampeyan sudah dekat dengan Gusti Allah, tolong sampaikan kalau aku butuh duit buat persiapan si Tole nanti naik ke kelas IV SD, benar sekolah sekarang gratis, tetapi Si Tole kan kudu ikut les di rumah gurunya biar dapat ranking, kudu ikut piknik lihat mesium perjuangan, kata gurunnya biar memahami nilai-nilai nasioalisme...., mbuh.... sebangsa apa itu nasionalisme mas ? mungkin mirip sama tiwul atawa gaplek makanan kita sehari-hari ya mas... iku tok pandongaku kanggo si Tole Mas (itu saja doaku buat Si Tole Mas...amin” diusapkannya kedua telapak tangan Mbok Tarmi ke wajahnya yang dipenuhi peluh dan air mata hingga sebagian luntur bedak bengkoang di wajah Mbok Tarmi.

Gemerisik alang-alang diterpa angin seolah-olah suara para Malaikat Tuhan menyanyikan senandung pujian akan keteguhan serta ketabahan hamba Tuhan mengiringi kepergian Mbok Tarmi sambil menggandeng si Tole . Tuhan pantaskah hambamu itu mencium aroma neraka, apalagi mencicipi neraka.....Amin Allahumma Amin.......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun