Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pikiran, Kebahagiaan dan Kompetisi Kehidupan

21 Maret 2021   05:40 Diperbarui: 21 Maret 2021   06:07 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ketidakbahagiaan adalah banyak pikiran. Sumber kebahagiaan adalah sederhananya pikiran. Ketika banyak yang dipikirkan maka, yang terjadi adalah pusing. Hidup tidak nyaman, serasa ada yang kurang dan seakan ada yang terus mengejar. Tidur tidak nyenyak dan gelisah selalu mendera.

Karena hulu dari keruwetan hidup adalah pikiran, maka manusia harus belajar bagaimana mengendalikan pikiran. Dengan belajar mengendalikan, setidaknya pikiran bisa diarahkan. Ketika terarah, pikiran, akan lebih jernih melihat persoalan. Banyaknya persoalan terkadang hanya kurangnya pengendalian pikiran.

Saat ini, saat pandemi, banyak orang tertekan. Ketakutan akan penyakit dan juga masalah ekonomi. Ekonomi morat-marit, sedangkan kebutuhan jalan terus. Apakah kita bisa tenang dan menikmati kehidupan?

Harusnya, ada pandemi dan tidak ada pandemi orang harus tenang. Toh, kalau pun tidak tenang dan banyak yang dipikirkan, apakah persoalannya selesai? tidak!. Keruwetan pikiran adalah sumber dari masalah. Kalau tahu bahwa keruwetan pikiran adalah sumber masalah maka, pikiran harus dikendalikan.

Cara Menenangkan Pikiran.

Manusia harus meyakini bahwa kehidupan ini terus berubah. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Perubahanlah yang abadi. Kesehatan tidak abadi. Jika kita sakit, kita menerima bahwa kita sakit. Penerimaan bahwa kita boleh sakit akan lebih menenangkan dari pada kita berkeluh kesah terus dengan tidak menerima rasa sakit.  Sakit adalah hak setiap orang dan itu wajar. Tidak ada yang salah dari sakit. Kalau badan sakit usahakan pikiran jangan ikutan sakit. Sakit pikiran lebih berbahaya dibanding sakit jasmani.

Jika kita punya pandangan, bahwa semua fenomena tidak abadi maka akan ada akhir dari setiap peristiwa. Masih ada harapan dari segala keruwetan hidup. Kebahagiaan akan berakhir, kekecewaan akan berakhir, rasa sakit akan berakhir, kehidupan pun juga bisa berakhir. Semua yang terjadi hanyalah pergantian. Jalani saja kehidupan ini dengan melihat dan memaknai. Terus berjalan ke depan, jangan menyerah, karena tidak ada kamus menyerah ketika kita hidup ini. Ini pilihan yang harus diambil, karena tidak ada pilihan lainnya.

Jangan melekat pada setiap fenomena. Jangan pernah ikatkan pikiran kita terlalu kencang terhadap fenomena apapun. Lihat saja sebuah fenomena dan jangan pernah melibatkan pikiran terlalu jauh. Misalkan, tim jagoan kita akan bertanding. Maka pikiran harus dikondisikan. Bahwa, yang namanya pertandingan ada yang kalah dan juga ada yang menang. Kalau tidak tim saya, pastinya tim lawan. Nikmatilah pertandingannya, dan jangan lekati statusnya tim saya atau tim mereka.

Persoalan kecil bisa menjadi masalah serius kalau kita melekatinya. Misalnya kalau tim kita kalah. Maka pikiran akan kalut, gundah, jengkel bisa mendera. Kerja di kantor tidak semangat, diajak komunikasi tidak antusias merespon. Segalanya seolah runtuh. Padahal yang dipikirkan hanyalah kenapa jagoan kita kalah? lah wong setiap pertandingan pasti--dan harus ditekankan --juaranya hanya satu, yang lainnya harus kalah. Maka sangat wajar kalau jagoan kita kalah dan itu tidak menyalahi aturan.

Jangan Takut. Ketakutan adalah sumber terbesar kehidupan. Apa sebenarnya rasa takut itu?, takut adalah pikiran yang mencari kesalahan saat nanti. Kalau saya miskin nanti bagaimana?, kalau saya sakit nanti bagaimana?, kalau saya kejatuhan meteor nanti bagaimana? dan pikiran sibuk dengan "bagaimana".

Pikiran semacam itu harus kita buang. Tidak apa-apa kita miskin. Namun, jangan sampai miskin tanpa usaha. Maka, pikiran harus ditenangkan. Bahwa, siapapun berhak miskin dan berhak kaya. Miskin dan kaya terkadang relatif. Banyak orang yang terus mengejar materi tanpa akhir, padahal hartanya melimpah ruah. Seolah-olah dirinya miskin dan tidak cukup. Dipihak lain ada orang dengan penghasilan standar UMK, namun, hidup lebih tenang karena tidak banyak yang diinginkan dan dikejar. Cukup dengan apa yang memang diperlukan, bukan cukup dengan apa yang diinginkan, karena keinginan tidak akan ada cukupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun