KEGADUHAN POLITIK DI TENGAH BEBAN BERAT NEGARA
Oleh: Agus Sjafari*
Kondisi negara kita saat ini sepertinya belum baik -- baik saja dengan menanggung beban berat dengan melihat beberapa indikator ekonomi yang belum menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 mencapai 4,87% dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya bahwa jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi (penurunan) sebesar 0,98% (Tempo.co, 5 Mei 2025).
Problematika ekonomi lainnya yang dialami Indonesia dalam triwulan pertama Tahun 2025 terkait adanya kecenderungan daya beli masyarakat yang menurun. Indeks Keyakinan Konsumen atau IKK di bulan Maret 2025 tercatat turun 5,3 poin dibandingkan dengan bulan Pebruari 2025. Penurunan IKK selama tiga bulan berturut-turut mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Hal tersebut sekaligus menjadi level terendah sejak Oktober 2024. Dalam keterangan yang dirilis oleh Bank Indonesia, IKK bulan Maret berada pada level 121,1, turun 5,3 poin dibandingkan bulan Pebruari sebesar 126,4 (MetroTVNews.com, 22 April 2025).
Kondisi ekonomi lainnya yang juga tidak menggembirakan adalah terkait dengan Tingkat pengangguran yang juga mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah angka pengangguran di Indonesia meningkat per Pebruari 2025. Data BPS menunjukkan jumlah pengangguran per Pebruari 2025 mencapai 7,28 juta orang. Jumlah angkatan kerja per Pebruari 2025 mencapai 153,05 juta orang atau meningkat sebanyak 3,67 juta orang bila dibandingkan dengan Pebruari 2024. Dari angkatan kerja tersebut, tidak semua terserap di pasar kerja, sehingga terdapat jumlah orang yang menganggur sebanyak 7,28 juta orang (tempo.co, 5 Mei 2025).
Beberapa data di atas menunjukkan bahwa betapa beratnya beban pemerintahan Prabowo di dalam memikul beban ekonomi negara yang begitu berat, di sisi lain masih harus menanggung beban hutang negara yang maha berat sepeninggalan dari pemerintahan sebelumnya. Â Artinya bahwa pemerintahan Prabowo tidak saja malanjutkan program pemerintahan sebelumnya, melainkan juga harus melanjutnya dalam menanggung beban ekonomi negara yang sangat berat ini. Dalam menanggung beban negara yang sangat dahsyat beratnya ini dibutuhkan adanya ketenangan dan stabilitas politik yang tidak mengganggu konsentrasi pemerintahan Prabowo dalam menyelesaikan beberapa persoalan yang sangat berat tersebut.
Dalam kurun waktu sebulan terakhir ini perhatian publik tercurah kepada beberapa pemberitaan yang membuat gaduh jagat perpolitikan kita, antara lain: Pertama, Kasus ijazah Mantan Presiden Jokowi dimana eskalasinya semakin besar dan belum menemui titik terang apakah penyelesaiannya di pengadilan atau seperti apa; dan Kedua, Beberapa waktu yang lalu perpolitikan kita seperti "tersambar petir di siang bolong" tepatnya pada tanggal 17 April 2025 dalam acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan tokoh masyarakat dengan keluarnya pernyataan yang mana di dalamnya terdapat salah satu pernyataan yang sangat serius yaitu usulan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Kedua kasus tersebut sepertinya memiliki keterkaitan yang sangat erat berhubungan dengan eksistensi Mantan Presiden Jokowi dalam perpolitikan Indonesia saat ini.
Khusus terkait kasus ijazah Jokowi mengandung banyak perspektif dan dalam konteks ini publik terbagi ke dalam beberapa kelompok dalam memandang kasus tersebut antara lain: kelompok idealis normatif, kelompok pragmatis, kelompok moderat, kelompok garis keras - die hardnya Jokowi, kelompok apatis, dan kelompok  free rider atau "penumpang gelap".
Pertama, Pada kelompok idealis normatif ini memandang bahwa etika dan kejujuran seorang pemimpin (apalagi dalam hal ini seorang mantan kepala negara) sangat dijunjung tinggi. Beberapa kalangan yang sedang memperjuangkan ini (Roy Suryo cs) adalah orang -- orang yang memiliki basis saintis yang melekat pada dirinya. Meskipun demikian, kepada kelompok ini sebagian kalangan berpandangan bahwa kelompok ini dinilai tidak murni memperjuangkan idealisme melainkan sudah "ditunggangi" kepentingan politik khususnya oleh pihak -- pihak atau kelompok yang benci dan berlawanan dengan Jokowi.
Kedua, Kelompok Pragmatis. Pada kelompok ini pada dasarnya kelompok masyarakat yang memandang bahwa mempersoalkan ijazah Jokowi adalah "pekerjaan yang sia -- sia", tidak ada gunanya, buang -- buang waktu, dan hanya "memperkeruh suasana" serta tidak memberikan pelajaran yang positif kepada masyarakat. Bahkan kelompok ini juga agak sedikit "nyinyir" kepada kelompok yang pertama dikarenakan Jokowi sudah tidak berkuasa lagi, sehingga tidak ada pengaruhnya sama sekali bahkan menganggap mempersoalkan ijazah Jokowi hanya semakin membuat masyarakat kita kembali terkristalisasi seperti halnya terbelahnya kelompok kelompok masyarakat dengan istilah "cebong vs kampret" yang tidak berkesudahan. Menurut pandangan kelompok ini, de ngan mempersoalkan ijazah Jokowi, maka bangsa kita akan selalu menjadi bangsa yang pendendam.