Mohon tunggu...
Agus Esjee
Agus Esjee Mohon Tunggu... Lainnya - Pria pejalan kaki

Membahasakan diam

Selanjutnya

Tutup

Money

Menunggu Gelombang Pasang AFTA

3 April 2014   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

John F Kennedy dalam sebuah pidato kenegaraan tahun 1962, mengutarakan empat hak dasar masyarakat sebagai konsumen. Diantaranya hak atas keamanan dan keselamatan, hak atas informasi, hak untuk memilih produk, dan hak tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa konsumen. Tahun 1985, atas inisiatif dari Consumers International (CI) organisasi konsumen sedunia, PBB menyempurnakan gagasan Kennedy dalam deklarasi United Nation Guidelines for Consumer Protection (UNGCP), termasuk didalamnya jaminan hak-hak dasar (basic needs) konsumen. Di hari bersejarah tersebut kemudian menjadi tonggak hari hak konsumen sedunia.

Di banyak negara, tak terkecuali Indonesia, hak-hak dasar mínimum dimaknai sebagai hak atas kebutuhan primer yang mencakup hak ketersediaan pangan, sandang dan papan. Disamping tiga kebutuhan tersebut, demi mempertahankan martabat kehidupan diperlukan hak kesehatan, hak pendidikan, hak pekerjaan layak, hak akses transportasi dan hak atas energi. Lantas sudahkah keadilan berpihak pada konsumen untuk mendapatkan hak-hak dasar?

Secara faktual pilihan atas barang dan jasa yang hendak dikonsumsi ternyata tidak sekedar ditentukan oleh kebutuhan individu tetapi juga oleh mekanisme pasar, kebijakan pemerintah serta masyarakat internasional. Dengan kondisi ini maka kedudukan konsumen Indonesia semakin terdesak karena tidak hanya berinteraksi dengan pelaku usaha namun juga dengan Negara dan masyarakat global. Celakanya posisi konsumen kondisinya sangat timpang jika disandingkan dengan tiga kekuatan tersebut. Mencuatnya isu kartel pangan, menjadi contoh telanjang bahwa posisi konsumen teramat rentan.

Disisi lain, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta - artinya ada 250 juta lebih konsumen di Indonesia – tidak serta merta menempatkan konsumen pada tataran yang tinggi. Dalam peta politik tanah air, perlindungan konsumen hanya dimasukan pada persoalan perdagangan belaka. Institusinya juga hanya menginduk pada Kementrian Perdagangan.

Institusi ini pada prakteknya memiliki banyak keterbatasan dalam memberikan perlindungan konsumen. Sebab secara substansial hampir tidak mungkin lembaga ini akan mengambil porsi melebihi batas kewenangannya. Kasus jasa medis dengan dugaan malpraktek dokter – yang berlanjut hingga aksi solidaritas dokter, kasus pembobolan kartu kredit dan ATM, merupakan sebagian kecil contoh yang bukan menjadi ranah perdagangan semata. Benar, masing-masing memiliki payung organisasi yang menyuarakan kepentingan konsumen. Sektor keuangan telah memiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) untuk medis. Namun, sejauh mana mereka akan membela kepentingan konsumen dengan menerapkan sanksi keras kepada produsen yang notabene bagian dari mereka?

Ketergantungan

Tahun 2015, Indonesia akan memasuki era baru dengan dibukanya komunitas ekonomi ASEAN (Asean Economy Community) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Artinya, negara-negara Asia Tenggara menjadi satu pasar global yang saling terbuka. Terbukanya pintu pasar global ini yang lantas menimbulkan kekhawatiran; Indonesia hanya akan menjadi target pasar dari negara-negara lain. Kekhawatiran ini tentu beralasan jika melihat kondisi makro perekonomian yang ada di Negara kita. Produk dan komoditi Indonesia umumnya masih disetir oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan tak berpihak, sehingga akan sulit bersaing dengan produk negara-negara lain.

Barang-barang impor seperti daging, garam, gula, beras, buah dan sayuran, saat ini telah menguasai pasar dalam negeri kita. Tampaknya cara-cara instant pemerintah untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri melalui mekanisme impor terus dilanggengkan, ketimbang mengoptimalkan produk dalam negeri yang berwawasan jangka panjang. Sumber daya alam yang luar biasa serta iklim hujan tropis yang menumbuhsuburkan potensi pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, agaknya kurang menggairahkan pengambil kebijakan. Akibatnya tentu produsen dalam negeri semakin terpukul dan bersiap gulung tikar secara perlahan.

Sekilas konsumen diuntungkan dengan kondisi semacam ini karena ketersediaan beragam barang dengan harga terjangkau. Namun jika produk dalam negeri yang ada tinggal kenangan belaka, maka cepat atau lambat ketergantungan pada impor semakin besar, dan harga komoditi tersebut akan mendikte konsumen Indonesia. Celakanya, kita terpaksa harus menerima karena tak ada alternatif lain.

Ketergantungan dikhawatirkan juga akan mendikte Indonesia dalam mengambil kebijakan. Kasus daging sapi merupakan contoh bagaimana kebijakan harga sangat dipengaruhi oleh barang impor. Dalam jangka panjang, hal-hal semacam ini bukan lagi merupakan kejadian insidental, namun menjadi strategi pemasaran dari kalangan negara-negara industri yang selalu mengambil keuntungan. Jika demikian, konsumen yang paling rentan menangguk kerugian.

Pilar Penting

Benar, bahwa kehadiran negara dalam bentuk regulasi telah ada sejak bergulirnya Undang-undang No. 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen. Namun jika pendekatannya adalah keutamaan dan keberadaan konsumen, UUPK masih jauh panggang dari api. Undang-undang ini hanya mengurusi hubungan antara konsumen, pelaku usaha dan negara. Apakah konsumen mendapat jaminan mengakses hak-hak dasarnya, itu tidak tercakup dalam UUPK.

Menjadikan konsumen sebagai sudut pandang dalam membangun sebuah kebijakan, akan melahirkan keadilan lebih simetris. Sudah saatnya pergerakan ekonomi memperhitungkan kepentingan sebagian besar konsumen. Apakah mereka akan terkena dampaknya atau tidak dalam sebuah proses bisnis dan pengelolaan kebijakan ekonomi. Tanpa perspektif ini, upaya perlindungan konsumen hanya mimpi belaka. Persis seperti diungkapkan mendiang Kennedy, konsumen merupakan pilar penting perekonomian, namun pendapatnya tidak pernah didengarkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun