Mohon tunggu...
Agus Esjee
Agus Esjee Mohon Tunggu... Lainnya - Pria pejalan kaki

Membahasakan diam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Candu Subsidi versus Subsidi Nikotin

3 Juli 2013   15:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:04 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara berseloroh, seorang teman pernah berucap; Indonesia negara candu subsidi. Hampir disetiap sendi kebutuhan masyarakat mendapat subsidi dari Pemerintah. Kendati diucapkan dengan nada tidak serius, tetapi ucapanya patut diseriusi. Secara faktual masyarakat kita memang banyak menerima subsidi dari Pemerintah. Sebut misalnya pangan (beras), pendidikan, kesehatan, transportasi, bahkan bahan bakar minyak (BBM). Adalah hak masyarakat menerima subsidi dari Pemerintah sepanjang Pemerintah mampu.

Masalahnya adalah ketika Pemerintah mulai berusaha menghapus atau mengurangi subsidi tersebut, muncul sejumlah penolakan. Pengurangan subsidi BBM tempo hari misalnya, banyak mendapat ”perlawanan”. Masyarakat yang selama ini ter nina-bobokan dengan subsidi, jelas merasa kaget. Alhasil, Pemerintahpun perlu membuat jaringan pengaman sosial dalam bentuk bantuan langsung sosial masyarakat (BLSM). Sama seperti kakak tirinya, BLT (bantuan langsung tunai), BLSM diberikan dalam bentuk tunai.

Konon, jumlah yang digelontorkan Pemerintah untuk BLSM sebesar 9,32 triliun rupiah dan diharapkan mampu menyasar 15,5 juta rumah tangga rentan (baca miskin) atau meng-cover sekitar 60 juta jiwa. Mereka rata-rata akan menerima 150 ribu rupiah selama 4 (empat) bulan.

Ya, masyarakat rentan yang berhak menerima BLSM dimaknai sebagai masyarakat miskin yang minim penghasilan. Tetapi, benarkah masyarakat yang menerima BLSM sebagai masyarakat yang benar-benar rentan terdampak kenaikkan BBM? Ataukah mereka menjadi masyarakat rentan karena salah dalam mengalokasikan pendapatan mereka?

Loh, mungkin muncul pertanyaan apa maksud salah mengalokasikan pendapatan?
Begini penjelasannya;

Saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dalam hal konsumsi rokok, setelah China dan India. Sebanyak 260.8 milyar batang rokok ludes dibakar oleh masyarakat Indonesia di tahun 2012. Jumlah sebesar itu dikonsumsi oleh 36% penduduk Indonesia atau setara dengan 61, 4 juta orang (GATS-2012). Celakanya, dari hasil penelitian, 70% dari konsumen rokok adalah mereka yang tergolong sebagai masyarakat rentan!.

Berdasarkan penelitian dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI), kelompok rentan ini mengalokasikan pendapatan mereka untuk membeli rokok lebih besar ketimbang alokasi untuk biaya pendikan, kesehatan atau perbaikan gizi (daging, susu, telur) keluarga mereka. Belanja rokok mereka hanya kalah oleh belanja beras yang menjadi kebutuhan pokok.

Menurut survei GATS, rata-rata perokok menghabiskan 10 batang rokok perhari perorang. Dengan asumsi perbatang Rp 700, maka dalam sehari perokok mengalokasikan pendapatan mereka sebesar Rp 7.000 perhari atau Rp 210 ribu per bulan. Jumlah ini melebihi batas BLSM yang hanya Rp 150 ribu per bulan. Dengan kata lain, BLSM untuk kelompok keluarga rentan yang ada perokoknya, hanya akan habis untuk ”mensubsidi konsumsi rokok”. Lebih ironis, karena bantuan ini akan mengalir ke ceruk pendapatan insustri rokok.

Terlepas dari pro kontra kucuran BLSM kepada masyarakat rentan, namun alokasi pendapatan yang salah telah menggiring masyarakat pada tubir kemiskinan terstruktur. Tingginya alokasi pendapatan untuk konsumsi rokok keluarga rentan akan sangat berdampak pada tereduksinya kesempatan pendidikan anak, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan konfigurasi tersebut, teramat gamblang bahwa masalah pembagian BLSM bukan saja ”salah sasaran” tetapi juga salah pengalokasian.

Tetapi, perilaku merokok masyarakat rentan tidak bisa serta merta disalahkan. Sebab, mereka hanyalah korban atas ketidakmengertian dan ketiadaan kebijakan yang melindunginya. Jadi, jika pemerintah memang berniat menanggulangi mereka dari jurang kemiskinan, tidak ada cara lain kecuali bagaimana pemerintah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat rentan terhadap adiksi rokok.

Atau, jangan-jangan, jika ini berhasil dilakukan, tak ada kelompok rentan di Indonesia. Pemerintahpun tak perlu berpusing menggelontorkan BLSM.

@agus_esje

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun