Mohon tunggu...
Agus Esjee
Agus Esjee Mohon Tunggu... Lainnya - Pria pejalan kaki

Membahasakan diam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MDGs dalam Sebatang Rokok

7 November 2013   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_276505" align="aligncenter" width="500" caption="Target MDGs "][/caption]

Sejak tahun 2000, PBB merumuskan 8 poin target pembangunan hingga 2015. Delapan poin tersebut dikenal secara luas dengan nama Millenium Development Goals (MDGs). Keputusan ini langsung diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala negara, tak terkecuali Indonesia. Intinya dalam MDGs, PBB meminta negara-negara anggota untuk bekerjasama dalam upaya memerangi kemiskinan, penekanan pendidikan dasar universal, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan tingkat kematian balita, kesehatan ibu, menghambat penyebaran penyakit, kelestarian lingkungan hidup, dan kemitraan global.

Sepintas memang tidak ada tema yang sungguh-sungguh baru dari delapan butir deklarasi itu. Perang terhadap kemiskinan dan penyakit sudah menjadi agenda pembangunan melalui politik anggaran nasional masing-masing negara. Tetapi fakta yang tidak bisa diingkari adalah bahwa negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, memiliki kecenderungan gagal memerangi kemiskinan.

Padahal upaya mengentas kemiskinan sudah memakan alokasi APBN yang cukup besar kendati belum dapat dikategorikan dalam jumlah yang ideal. Banyak program dibuat dan sumber daya manusia dikerahkan. Pendek kata, Indonesia sudah mendefinisikan persoalan secara betul. Tetapi mengapa masih gagal dalam memutus rantai kemiskinan.

Salah satu fenomena kemiskinan di Indonesia dapat dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi rokok. Hal ini karena, baik pada masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan, tingkat konsumsi rokoknya amat tinggi. Lebih dari 65 juta mulut orang Indonesia menghisap rokok sekarang. Dengan jumlah ini, Indonesia ditasbihkan sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia setelah China dan India.

Dari kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) 70% rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran bulanan untuk rokok. Tak tanggung-tanggung, belanja rokok nangkring di posisi kedua tertinggi setelah beras. Pada keluarga yang ada perokoknya, rela merogoh kocek empat kali lebih besar untuk konsumsi rokok ketimbang untuk pemenuhan gizi; seperti membeli daging, telur atau susu. Konsumsi rokok juga mengalahkan biaya untuk kesehatan dan pendidikan. Padahal kesehatan dan pendidikan berkontribusi pada kinerja ekonomi yang baik, demikian sebaliknya.

13838022231486874599
13838022231486874599
Dalam kasus rokok, selain tersedotnya alokasi belanja kebutuhan lain, merokok dapat menurunkan kekuatan fisik dan mengurangi fungsi kekebalan tubuh, selain dampak jangka panjang. Di Indonesia, lebih dari separoh perokok meninggal dunia akibat dari penyakit yang ditimbulkan oleh rokok, dengan kira-kira setengah dari kematian tersebut terjadi dalam masa produktif mereka.

Pada tataran rumah tangga, hal tersebut berarti hilangnya penopang ekonomi keluarga yang memiliki dampak jangka panjang pada tingkat pendidikan dan kualitas hidup anggota keluarga. Data Susenas menguak bahwa kematian orang tua menyebabkan penurunan drastis atas tingkat partisipasi sekolah anak-anak. Ini terlihat dari tingginya angka putus sekolah. Dampak yang muncul selain tingkat pendidikan yang rendah, juga risiko terjadinya kemiskinan secara struktural.

Malnutrisi

Korelasi lain dampak konsumsi rokok dengan potensi kegagalan MDGs dapat dilihat dari studi tahun 2000-2003 (Richard D Semba, 2008) yang menunjukkan kematian bayi lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok. Perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (severe wasting) 1 %, berat badan sangat rendah (severe underweight) 6,3% dan anak sangat pendek (severe stanting) 7,0%. Ini disebabkan belanja rokok telah menggeser kebutuhan gizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita.

Perilaku merokok juga membuka peluang kesetaraan gender yang salah arah. ”Kelicikan” industri rokok memanfaatkan momentum kampanye pemberdayaan perempuan; mampu mengekspansi stigma bahwa merokok identik dengan kejantanan (laki-laki), namun juga perempuan sebagai simbol dari kemapanan atau gaya hidup. Dari catatan BPS menunjukan ada peningkatan prevalensi perempuan merokok dari 1,3% (2001) menjadi 4,5% pada 2004, atau 3,5 kali lipat dalam tempo 3 tahun. Peningkatan tertinggi terjadi pada perempuan remaja kelompok umur 15-19 tahun yang meningkat 9,5 kali lipat.

Bersandar dari konfigurasi data tersebut diatas, menjadi jelas bahwa terdapat kaitan erat antara konsumsi rokok dengan laju pencapaian MDGs dalam memberantas kemiskinan. Fenomena ini menjadi sangat paradoks, dimana masyarakat miskin dengan penghasilan yang rendah masih salah pula dalam mengalokasikan pendapatannya.

Selaras dengan itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti keterkaitan antara rendahnya kemajuan perekonomian suatu negara dengan tingkat kesehatan yang buruk. Menurut WHO, rokok merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu kesejahteraan keluarga, penyebab penyakit dan kematian prematur yang dapat dicegah di negara-negara berkembang khususnya.

Cara Strategis

Namun, perilaku masyarakat yang mengalokasikan pendapatan mereka untuk konsumsi rokok, tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Sebab, mereka hanyalah korban dari nihilnya kehadiran pemerintah dalam bentuk kebijakan yang melindungi. Sejauh ini sikap pemerintah untuk meratifikasi FCTC masih ambigu dan patut diduga sarat muatan politis transaksional. Pun demikian dengan satu-satunya Peraturan Pemerintah No.109/2012 mengenai pengamanan bahan rokok bagi kesehatan belum dilaksanakan secara maksimal. Sebaliknya, PP yang merupakan turunan dari Undang-Undang Kesehatan – yang artinya mengatur masalah kesehatan – justru ditampik oleh segelintir kelompok non kesehatan!

Jika pemerintah berniat mengentaskan rakyatnya dari kungkungan kemiskinan, tidak ada cara yang paling strategis selain bagaimana pemerintah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat terhadap adiksi rokok. Pemerintah seharusnya melakukan terobosan besar dibidang regulasi pengendalian tembakau. Meratifikasi FCTC adalah usaha yang paling logis, arif, komprehensif serta menjadi warisan luhur dari pemerintah yang hendak lengser ini.

Tanpa adanya kebijakan yang konkrit dan menyeluruh, mustahil target MDGs 2015 dapat tercapai.

@agus_esje

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun