Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Guru dan Semangat Nasionalisme

20 November 2012   08:45 Diperbarui: 6 Mei 2020   10:06 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1353401735954625232


Kita semua tahu – meskipun tidak semua di antara kita ingat kapan Hari Guru Nasional diperingati setiap tahunnya. Menurut kalender nasional, Hari Guru Nasional dirayakan bersamaan dengan Hari Ulang Tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang jatuh pada tanggal 25 November. Meskipun Hari Guru Nasional bukanlah hari libur resmi, namun keberadaannya senantiasa dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah. 


Beberapa waktu silam, tepatnya pada hari Jumat, 17 Agustus 2012, penulis mengikuti peringatan hari kemerdekaan ke-67 tahun Republik Indonesia di sebuah sekolah swasta di kota Banjarbaru. Tiba-tiba ingatan penulis kembali melayang, melintasi tahun-tahun silam, saat penulis masih duduk di bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas di kota Denpasar, Bali. 


Pulau Bali dikenal orang seantero dunia sebagai salah satu surga pariwisata yang tetap digandrungi orang dari masa ke masa. Jika seandainya peristiwa “Bom Bali jilid I dan II” tidak pernah terjadi, mungkin saja wisatawan dari seluruh penjuru dunia akan tetap beramai-ramai berkunjung ke pulau yang mendapat julukan “Paradise Island” ini. Dan peristiwa naas yang merenggut banyak korban jiwa tersebut disebabkan oleh para teroris yang notabene adalah warna Negara Indonesia. Sebuah gambaran yang ironis dan patut menjadi sebuah pertanyaan: “Dimanakah rasa nasionalisme mereka? Mengapa mereka mau menjadi teroris dan menghancurkan kehidupan pariwisata yang turut mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional?

Semenjak Orde Baru runtuh pasca lengsernya Soeharto pada tahun 1998, rasa nasionalisme yang ditanamkan dalam diri anak-anak di bangku sekolah kian hari kian merosot dan tidak jelas arahnya. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang pernah populer dan menjadi semacam doktrin yang wajib diajarkan di setiap awal tahun ajaran baru di seluruh jenjang lembaga pendidikan, tiba-tiba lenyap begitu saja, dengan menempelkan stigma bahwa P4 adalah produk Orba dan harus dihapuskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara! Apakah memang seharusnya demikian?

P4 yang terdiri dari 36 butir tersebut pernah penulis hafalkan di bangku sekolah dasar hingga ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Jika dicermati dengan baik, ke-36 butir yang merupakan penjabaran dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu mengandung nilai-nilai kehidupan yang mulia dan adiluhung. Namun sayang seribu sayang, P4 kemudian benar-benar hilang lenyap tak jelas rimbanya dan dapat dipastikan tidak pernah dikenali lagi oleh anak-anak jaman sekarang. Mungkin bila anak-anak jaman sekarang kita tanyakan perihal Pancasila, maka dengan senyum penuh tanda tanya mereka akan menjawab tidak tahu. Barangkali dalam keseharian mereka, media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter atau BBM Messenger akan lebih populer dibandingkan dengan Pancasila, apalagi P4 yang pasti tidak mereka kenal sama sekali. Suatu realitas yang ironis dan patut menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia. Bangsa yang didirikan dengan ceceran darah, curahan air mata dan tetes-tetes keringat para pahlawan yang berjuang demi dapat mengusir kaum penjajah dari seantero Bumi Nusantara.

Sejak penulis duduk di bangku sekolah dasar, penulis mengenal dan begitu mengagumi Jenderal Besar Soedirman yang memimpin perang gerilya kemerdekaan dan wafat di akhir revolusi karena TBC paru merenggut jiwanya. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Soedirman adalah adalah seorang guru Sekolah Muhammadiyah dari Jawa yang pada jamannya pernah mendapatkan pendidikan dalam badan militer yang disponsori Jepang. Soedirman adalah seorang guru, seorang tenaga pendidik yang terpilih dan menjadi Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada masa perang kemerdekaan. Pada masa itu, profesi seorang guru ternyata sangat dihargai dan mendapatkan penghormatan yang luar biasa di negeri ini. Apakah di usia kemerdekaan ke-67 tahun Negara Indonesia tercinta, profesi guru masih mendapatkan penghargaan yang sedemikian hebatnya? 


Saya jadi teringat “Laskar Pelangi”, sebuah film bertema pendidikan yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya novelis Andrea Hirata, dengan latar belakang pulau Belitong yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia dengan hasil bumi berupa timah. Adalah Bapak Harfan dan Ibu Muslimah, kedua-duanya saling bahu-membahu mengajar di sebuah sekolah yang terbilang sangat sederhana dengan kesepuluh orang muridnya. Film ini berkisah tentang sekumpulan anak-anak pinggiran yang berjuang gigih meraih cita-citanya di SD Muhammadiyah Gantong - sebuah sekolah tua, yang dinding-dinding bangunannya hampir roboh. Lagi-lagi profesi guru menjadi hal yang menonjol dan menjadi salah satu sentral atau pusat cerita film tersebut.


Penulis ingin menggarisbawahi “pendidikan” sebagai sebuah proses yang mendidik dan membina karakter generasi bangsa ini. Menurut Buchori, pendidikan yang baik ialah pendidikan yang mempersiapkan para murid untuk menghadapi kehidupan. Pendidikan yang baik tidak hanya mempersiapkan para siswa untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan itu, apapun masalahnya. Adapun para siswa harus dipersiapkan dalam menghadapi tiga tugas kehidupan, meliputi: (1) Untuk dapat hidup (to make a living), (2) Untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna (to lead a meaningful life) dan (3) Untuk turut memuliakan kehidupan (to ennoble life) (2001:50).


Seberapa dalam dan kuatnya rasa nasionalisme dan cinta tanah air yang tertanam dalam setiap benak siswa, sangat dipengaruhi oleh para gurunya. Jika beberapa tahun terakhir rasa nasionalisme kita kembali dipertanyakan; tentu sebagian pertanyaan ini sangat bijak kiranya bila kita alamatkan kepada bapak dan ibu guru di semua lembaga pendidikan yang ada di seluruh tanah air. 


Penulis teringat sekali bagaimana rasa nasionalisme dan cinta tanah air menjadi salah satu perhatian dan diajarkan dengan penuh dedikasi oleh para guru sejak penulis duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Melalui kegiatan upacara bendera di setiap hari Senin pagi, hingga pada hari-hari perayaan nasional lainnya seperti: HUT Kemerdekaan RI, Sumpah Pemuda, Kesaktian Pancasila, Kebangkitan Nasional; juga melalui kegiatan Pramuka, Patroli Keamanan Sekolah (PKS), Palang Merah Remaja (PMR), pendakian gunung dan sebagainya; rasa nasionalisme dan cinta tanah air itu sungguh-sungguh meresap ke dalam jiwa dan kehidupan penulis. 


Rasanya teramat bangga ketika menatap Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa, ketika bendera-bendera kecil berada dalam genggaman anak-anak bangsa ini, ketika umbul-umbul merah putih berkibar dan berjajar rapi di jalanan. Di saat-saat seperti ini, kilasan berbagai adegan perang kemerdekaan dari beragam jenis film yang pernah penulis tonton seolah-olah diputar kembali dalam ingatan. Ternyata perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang kita cintai bersama ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan; tak semudah ketika kita mengucapkan “Dirgahayu ke-67 tahun Negeriku Republik Indonesia!” 


Menurut hemat penulis, Pancasila dan P4 perlu diajarkan kembali di sekolah-sekolah kita; agar anak-anak lebih mencintai nilai-nilai luhur bangsanya sendiri. Sebagai seorang guru, penulis merasa begitu prihatin ketika anak-anak begitu mencintai (nge-fans) terhadap artis-artis barat, dengan kebudayaan dan tarian barat, dengan lagu-lagu barat dan seterusnya dan sebagainya. Perasaan penulis juga menjadi getir manakala anak-anak mencibir tari-tarian daerah sebagai tontonan yang tidak menarik, dan menutup telinga terhadap lagu-lagu daerah. Suatu kondisi yang ironis, sama ironisnya ketika penulis menyaksikan tayangan di televisi yang memberitakan peristiwa “Bom Bali I dan II” yang ternyata pelakunya adalah anak-anak bangsa kita sendiri.


Akankah rasa nasionalisme dan cinta tanah air yang kian hari terasa kian meluntur ini akan terus berlanjut? Kiranya bapak dan ibu guru yang membaca tulisan ini tergerak hatinya untuk kembali menggelorakan semangat kebangsaan kita di hati anak-anak yang kita didik dan kita dampingi setiap harinya. Buatlah anak-anak itu bangga dan percaya diri bahwa kita ini satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa: “Indonesia!”


Kepada bapak, ibu dan saudara saudariku yang berprofesi sebagai seorang guru, penulis ucapkan ”Selamat Hari Guru” dan sukses selalu! Selamat berbahagia bapak, ibu dan saudara saudariku Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, selamat berbangga bersama anak-anak didik kita generasi harapan bangsa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun