Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikam Jejak di Gerbang Kota Gaib Saranjana

28 Mei 2020   16:37 Diperbarui: 28 Mei 2020   16:30 2540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Instagram @intisariplusmadu

Antara tahun 2011 hingga 2013, karena urusan pekerjaan saya harus bolak-balik Banjarmasin -- Batulicin berkali-kali. Saya lebih menyukai perjalanan travel malam hari dari Banjarmasin menuju ke Batulicin. Kebiasaan serupa juga saya lakukan saat saya hendak kembali ke Banjarmasin.

Karena berangkat malam hari dan perjalanan harus ditempuh sampai subuh, maka pengemudi travel biasanya mempunyai kebiasaan mengajak ngobrol para penumpangnya.

Jika para penumpang sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing, maka pengemudi travel akan mencoba menghubungi beberapa nomor telepon yang bisa diajaknya berbincang. Bila cara ini dianggap tidak berhasil, maka pilihan satu-satunya adalah menyetel musik agak keras di sepanjang perjalanan.

Bagi mereka-mereka yang sudah sering melakukan perjalanan travel di rute tersebut, maka situasi yang saya kisahkan ini tentu akan dianggap hal biasa dan lumrah. Dalam rentang waktu tiga tahunan, saya hampir-hampir tidak pernah mendengar protes atau komplain yang disampaikan para penumpang.

Kisah "Kota Gaib" yang Penuh Misteri

Dalam beberapa kesempatan, saya pernah mendengar kisah dari para pengemudi travel tentang kota gaib berjuluk "Saranjana". Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, biasanya para pengemudi travel tersebut akan mengulasnya saat mobil sudah jauh dari area yang disinggung dalam cerita.

Bila mobil menuju arah Batulicin, maka kisah-kisah itu akan disampaikan di sepanjang jalan antara Banjarmasin hingga sebelum memasuki Desa Sungai Danau. Jika mobil menuju arah Banjarmasin, maka kisah itu akan dituturkan saat telah melewati Desa Sungai Danau.

Bagaimana pun juga saya bisa memahami alasan tersebut, karena unsur "pamali" masih teguh dipegang oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Nah, dalam kisah-kisah itu diantaranya disebutkan, pernah ada serombongan mobil truk besar yang membawa kendaraan bermotor dalam jumlah yang banyak melintas di sekitar Pantai Pagatan, lalu rombongan truk tersebut menyeberang ke arah laut dan menghilang.

Konon kejadian itu berlangsung tengah malam dan saat sopir truk itu kembali ke daratan, mereka berkisah bahwa sebelumnya telah berkunjung ke sebuah kota yang lampunya terang-benderang dan ramai dengan hiruk-pikuk orang-orang yang berhamburan di jalanan.

Meskipun saya pribadi merasa merinding ketika mendengar kisah-kisah tersebut dipaparkan oleh penuturnya, namun saya berusaha menikmati cerita-cerita itu seperti menimati dongeng sebelum tidur.

Menelusuri "Jejak Lokasi" Saranjana

Bagi masyarakat di Batulicin dan Kotabaru, kisah sebuah bukit kecil yang ada di Pulau Laut (Pulau Halimun), tentu tak asing lagi di telinga. Menurut cerita yang dikisahkan secara turun-temurun, bukit kecil tersebut diyakini sebagai gerbang kerajaan gaib terbesar di Kalimantan Selatan.

Jika ditilik secara etimologis, nama kota gaib ini konon diambil dari kata-kata dalam bahasa Mandar, yaitu: saran (sarang) dan jana (elang). Suku Mandar sendiri adalah salah satu suku yang berasal dari Sulawesi Barat dan sebagian Sulawesi Selatan. Selain bermukim di daerah asalnya, masyarakat dari suku ini juga dapat dijumpai di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa, Sumatera, bahkan hingga ke daratan Malaysia.

Sumber lain menyebutkan, nama Saranjana berasal dari kata Sarandjana atau Serandjana yang tertulis dalam artikel naturalis Belanda. Kata ini memiliki kesamaan toponim dengan Sarangtiung. Toponim adalah bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya.

Secara geografis, wilayah Saranjana dikatakan berada di sisi selatan Pulau Laut, sedangkan Pantai Sarangtiung ada di bagian utaranya. Tentu jika dikaji lebih jauh akan menimbulkan aneka persepsi dalam pikiran mereka-mereka yang mencoba menganalisanya.

Saat ini bukit yang dikenal dengan nama "Saranjana" itu secara geografis terletak dekat Desa Oka-Oka, yang mayoritas dihuni oleh para nelayan asli suku Mandar. Desa Oka-Oka masih merupakan wilayah Kecamatan Pulau Laut Kepulauan yang berlokasi sekitar 150 kilometer dari Kotabaru.

Menurut kisah yang dituturkan dari mulut ke mulut, di Kota Gaib Saranjana terdapat gedung-gedung pencakar langit, aneka kendaraan berlalu lalang di jalanan, perumahan mewah dan elit, toko-toko hingga kedai-kedai pun bisa dijumpai di sana. 

Para penghuni Kota Saranjana juga dikenal memiliki wajah yang lebih tampan dan cantik dibanding penduduk di daerah sekitarnya. Penampilan mereka pun gagah dan menawan seperti layaknya para bangsawan atau keluarga kerajaan.

Kota Gaib Saranjana menurut Pieter Johannes Veth dalam kamus hasil karyanya yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, bertahun 1869 menyebutkan bahwa Saranjana merupakan sebuah tanjung di sisi sebelah selatan Pulau Laut.

Bila kita perhatikan pada Peta Kalimantan edisi terbaru, Pulau Laut berlokasi di sebelah tenggaranya. Dulu nama Saranjana tertulis di sebelah tenggara pulau ini pada "peta klasik wilayah pesisir dan pedalaman Borneo" karya Salomon Muller tahun 1845.  Namun sayangnya, kita tidak akan pernah lagi menemukan nama kota gaib ini di peta Indonesia masa kini.

Sejak jaman kolonial, keangkeran Kota Saranjana sudah terkenal dimana-mana. Masyarakat meyakini orang-orang yang tiba-tiba pergi dan menghilang dipercaya telah berada di Kota Gaib Saranjana.

Dihuni Jin dan Makhluk Gaib

Berembus kisah, ukuran buah-buahan dan makanan di Kota Gaib Saranjana memang tak lazim atau raksasa. Meskipun tataruang kota gaib ini serba moderen, namun terdapat sebagian penduduknya yang masih bermata pencaharian sebagai petani. Kemudian pemukimannya pun tertata apik, dengan deretan taman-taman dengan aneka macam bunga warna-warni yang menghias di sepanjang jalan.

Penduduk di kota ini dikisahkan hidup dalam suasana damai, tenteram, rukun, gemah ripah loh jinawi. Sistem pemerintahannya menganut sistem kerajaan atau monarkhi yang dibatasi dengan undang-undang.

Seorang penduduk yang tinggal di daerah Lontar, Kotabaru, pernah berkisah bahwa saat malam tiba, dia selalu mendengar suara-suara kendaraan yang begitu ramai berlalu-lalang di depan rumahnya. 

Namun ketika pintu depan rumah dibuka, dia tidak menemukan  mobil-mobil tersebut. Dia kemudian meyakini bahwa suara-suara itu berasal dari aktivitas penduduk Kota Gaib Saranjana.

Beberapa orang yang tinggal di Teluk Tamiang juga mengisahkan bagaimana kerabatnya hilang begitu saja. Setelah ditelusuri melalui penerawangan "orang pintar", kerabat mereka itu hingga kini masih tinggal di kota gaib tersebut.

Menurut mitos yang beredar di kalangan masyarakat setempat, kota gaib tersebut dihuni sebangsa jin. Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota Saranjana dihuni oleh orang-orang Bulian, mereka mempunyai fisik seperti halnya manusia biasa; hanya saja mereka "halimun" (tak kasat mata).

Bahkan ada cerita yang menyebutkan sejumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Laut mendapati pemandangan aktivitas manusia di antara gedung pencakar langit di Kota Saranjana. Karena penasaran, rombongan wisatawan itu kemudian mendekati lokasi tersebut. Namun anehnya pemandangan fantastis tersebut kemudian lenyap dari pandangan!

Ada yang memercayai Kota Gaib Saranjana sebenarnya berada di Teluk Tamiang. Anggapan itu muncul setelah beredar kisah orang-orang yang pernah ditarik masuk ke alam Saranjana, saat mereka sedang berkeliling di teluk itu.

Hal mistis lain yang dikisahkan adalah para penghuni kota gaib ini memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari manusia kebanyakan. Para penghuni Kota Saranjana dapat dikenali dari ciri-ciri mereka yang tidak memiliki dua garis di antara bibir dan hidungnya.

Legenda Pulau Halimun

 Dalam sebuah publikasi berjudul "Myths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency" tahun 2017 karya Normasunah, dipaparkan sebuah kisah yang telah melegenda di kalangan masyarakat Kotabaru, Pulau Laut.

Legenda itu mengisahkan adanya sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pulau Halimun yang dipimpin oleh Raja Pakurindang. Tokoh lainnya yang terdapat pada legenda ini dikenal bernama Sambu Batang dan Sambu Ranjana.

Dalam mitos tersebut kemudian disampaikan bahwa Raja Pakurindang memerintahkan Sambu Batung dan Puteri Perak untuk tinggal di bagian utara Pulau Laut. Sambu Batung dan pasangannya kemudian diberikan ijin untuk membaur dengan masyarakat luas di "alam nyata".

Sedangkan Sambu Ranjana dititahkan tinggal menetap di wilayah selatan Pulau Laut. Raja memberikan kebebasan kepada Sambu Ranjana yang berniat menutup diri dan menyepi dan tetap tinggal di "alam gaib".

 Meski perintah Raja Pakurindang kepada Sambu Batung dan Sambu Ranjana berbeda, namun sebuah pesan yang sama disampaikan kepada keduanya, "Sekalipun kalian hidup di alam yang berbeda, namun kalian harus tetap rukun, saling membantu, dan saling mengingatkan satu sama lain."

Menurut legenda tersebut, nama Rambu Ranjana inilah yang dikemudian hari dilafalkan menjadi Saranjana oleh penduduk setempat. Dan masyarakat di situ meyakini bahwa keberadaan Bukit Saranjana saat ini merupakan "jelmaan" dari tokoh Rambu Ranjana.

 "Kisah Mistis" yang Masih Misterius

Dari Kota Gaib Saranjana, orang-orang yang diberi pawisik akan mendengar alunan suara musik atau suara kendaraan yang berlalu-lalang. Bahkan dari kisah-kisah yang beredar, ada warga dari kota gaib ini yang memesan mobil-mobil mewah dari Surabaya.

Juga ada cerita penuh misteri yang dialami oleh pengemudi kapal fery yang menghubungkan rute Pelabuhan Tanjung Serdang, Kotabaru menuju Pelabuhan Batulicin di Tanah Bumbu. 

Awalnya kapal fery itu mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak sekali dari pelabuhan asal. Namun ketika kapal sudah merapat di pelabuhan tujuan, para penumpang itu raib entah kemana.

Dari pengalaman masyararakat yang pernah berkunjung ke Kota Gaib Saranjana, penduduk setempat di sana memakai bahasa Banjar sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Penduduk Saranjana juga dikenal ramah dan baik hati. Bahkan ada yang mengaku "tidak ingin" meninggalkan kota gaib tersebut, karena merasa nyaman dan takjub tinggal di sana.

Secara kasat mata, lokasi yang dianggap sebagai tempat keberadaan kota gaib ini hanyalah kawasan perbukitan yang ditumbuhi aneka pepohonan dan bersebelahan langsung dengan pesisir lautan. Masyarakat sekitar pun acapkali mendapati burung rajawali berukuran besar yang terbang melayang ke arah puncak bukit.

Kepakan sayap rajawali itu sepertinya hendak membawa angan dan setiap kisah mistis tentang Kota Gaib Saranjana, agar sampai dan mendarat di sana. Tepat dan berhasil menghunjamkan imajinasi kita, mengalami gemerlap seisi kotanya yang hingar-bingar dengan keajaiban!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun