"Lho, kok dia lagi yang bikin masalah?"
Suara gerutuan seperti itu sering terdengar dari ruang manajer perusahaan saya. Kali ini, kepala divisi sedang meluapkan kekesalannya tentang salah satu anak buah barunya yang, menurutnya, "sulit diatur." Ini bukan pertama kalinya saya mendengar keluhan serupa, baik dari kepada devisi maupun dari user lain di perusahaan ini.Â
Ada yang mengeluh soal produktivitas rendah, ada yang merasa timnya kurang inovatif, bahkan ada yang frustrasi karena budaya kerja yang "tidak nyambung."
Sebagai seorang yang pernah menjabat di HRD sebuah perusahaan, tentu saja saya kerap jadi tempat curhat mereka. Mulai dari masalah absensi, performa yang menurun, sampai drama internal antar-rekan kerja.Â
Seolah-olah, para pekerja ini memang sumber segala masalah. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan berpikir: jangan-jangan, justru kitalah yang keliru? Ya, saya bicara tentang kita, para HRD, dan juga para user yang terlibat dalam proses rekrutmen.
Mari kita akui, di balik meja wawancara atau tumpukan CV yang menggunung, ada dinamika yang jauh lebih kompleks dan terkadang saling bertentangan.Â
Bayangkan skenario ini: saya, sebagai HRD, berhadapan dengan Pak Arif, seorang manajer operasional yang sangat detail oriented. Kami sedang membahas kandidat B.Â
Menurut saya, kandidat B ini punya semangat belajar yang tinggi, adaptif, dan punya attitude yang luar biasa. Saya melihat potensi besar di sana, apalagi untuk mengisi posisi yang butuh banyak inovasi. Namun, Pak Arif langsung menggeleng. "Dia belum punya pengalaman di sistem kita, Mbak. Nanti malah memperlambat tim."
Inilah inti masalahnya. Ketegangan seringkali muncul karena HRD dan user memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap satu kandidat.Â
Saya, sebagai HRD, cenderung melihat potensi jangka panjang, keselarasan budaya, dan soft skill yang mungkin tidak terlihat dari pengalaman kerja semata. Saya percaya, skill bisa dilatih, tapi attitude itu pondasinya.Â