Tak banyak yang tahu bahwa sebelum rempah-rempah Nusantara menjadi rebutan pelaut Eropa, ada satu tanaman yang tak pernah dikirim ke luar negeri.Hal ini bukan karena tanaman itu tak berharga, tapi karena terlalu sakral untuk dijual. Tumbuhan itu disebut Nggumol, dikenal sekarang sebagai tembakau. Dan di kaki Gunung Wilis, sekitar abad ke-11, seorang tabib bernama Rake Siwandaru dari Kerajaan Kediri, telah lebih dulu memanfaatkan tanaman ini sebagai terapi bagi penyakit paru-paru yang kala itu disebut "angin napas pendek".
Konon, dalam manuskrip Pranatan Kawuryan yang disalin tangan oleh pujangga istana, tertulis catatan pengobatan dengan metode pengasapan lingsir. Pasien duduk di dalam bilik kecil yang dialiri uap dari pembakaran rempah dan daun Nggumol, dicampur serai hutan dan akar lanang. Tidak dihisap, melainkan dihirup dalam-dalam sebagai uap panas, seperti sauna herbal masa kini. Pengobatan ini dilakukan setiap malam selama tujuh malam berturut-turut di bulan tanpa purnama, agar penyakit paru sirna.
Rake Siwandaru, menurut legenda lokal yang masih diceritakan oleh para juru kunci situs Totok Kerot, berhasil menyembuhkan putra Raja Airlangga dari penyakit batuk berdarah yang dianggap kutukan leluhur. Para tabib kerajaan sudah angkat tangan, hingga datang Siwandaru dari desa terpencil dengan pendekatan tak lazim: tidak menyuruh sang pangeran minum jamu pahit, melainkan duduk diam menghirup asap hangat di tengah malam sunyi.
Dalam waktu dua minggu, sang pangeran pulih. Dan sejak itu, metode 'Pranasuddhi Asap' dijaga ketat hanya oleh kalangan istana dan para resi. Tapi saat Kediri runtuh dan Majapahit bangkit, pengetahuan ini ikut terkubur dalam puing-puing pertarungan politik dan agenda baru. Hanya satu dua catatan yang masih terselamatkan, salah satunya dalam manuskrip lontar yang sekarang disebut Serat Pulasara Jiwatma.
Sayangnya, sejak zaman kolonial hingga kini, tembakau terjebak dalam narasi industri dan kecanduan. Tak ada yang mengingat bahwa di masa silam, asap bukanlah racun, melainkan medium penyembuhan yang disakralkan. Tidak dijual, tidak dikomersialkan, tapi dipakai dalam laku tapa sarira untuk menyucikan pernapasan dan membersihkan paru dari gangguan alam bawah.
Di masa modern, mungkin terdengar mustahil. Tapi bila ditelusuri lebih dalam, tembakau varietas lokal Jawa memiliki kandungan senyawa volatil yang berbeda dari spesies Nicotiana tabacum Amerika. Kandungan terpenoid dan flavonoid pada tembakau pegunungan Jawa Tengah, seperti di Temanggung atau Kediri, diketahui cukup tinggi. Dan secara empiris bisa menjadi bronchodilator alami bila digunakan dengan cara yang tepat.
Beberapa peneliti botani dari Universitas Leiden di abad ke-19 bahkan mencatat praktik pengasapan tembakau ritual di pedalaman Jawa yang "tidak merusak, tetapi memurnikan." Mereka hanya tak paham konteks spiritualnya.
Apakah mungkin tabib Jawa telah lebih dulu menemukan metode uap inhalasi dari daun tertentu untuk melawan infeksi paru? Apakah Rake Siwandaru adalah bagian dari sejarah yang dihapus karena terlalu bertentangan dengan narasi modern tentang "bahaya tembakau"?
Yang pasti, di sebuah dusun di lereng Gunung Wilis, masih ada tetua yang menyimpan bungkusan daun tembakau kering dalam kendi tanah liat, dan selalu menyampaikan pesan:
"Asap bukan selalu kematian. Dulu, asap menyelamatkan jiwa."
Barangkali, seperti banyak warisan leluhur yang tersembunyi, sebagian dari jawaban atas penyakit modern justru tersembunyi di antara tradisi yang kita anggap usang.