Masjid komplek pagi itu seperti pasar kecil. Sandal jepit campur aduk, sebagian menghilang, sebagian ditemukan tak berpasangan. Anak-anak berlarian di halaman sambil membawa amplop kosong dan sambil berharap keajaiban isi. Orang-orang bersalaman dengan penuh semangat, walau beberapa di antaranya belum berdamai sejak Lebaran tiga tahun lalu. Dan di antara keramaian itu, Tuhan duduk tenang di bawah pohon mangga, mengenakan sarung motif kotak-kotak dan baju koko yang tidak disetrika.
"Kenapa Kau duduk di sini, bukan di dalam masjid?"
Tuhan tersenyum. "Di dalam sudah penuh. Lagi pula, wangi ketupat lebih kuat di luar."
Aku ikut duduk di samping-Nya. Kami berdua memandangi barisan orang yang sedang saling memaafkan. Ada yang sungguh-sungguh, ada yang membaca teks batin. Ada juga yang salaman sambil melirik jam tangan karena habis ini harus ke rumah mantan pacar, yang sekarang jadi ipar.
"Kau suka suasana seperti ini?" tanyaku.
Tuhan mengangguk pelan. "Ini hari paling sunyi dalam hiruk-pikuk. Semua orang tampak bahagia, bahkan kalau pun hanya sebentar. Aku suka saat manusia berpura-pura rukun, karena kadang dari pura-pura itu muncul keinginan tulus untuk beneran berdamai."
Aku mengangguk, menahan tawa. "Kau tahu nggak, tadi ada yang bilang gini ke orang yang disalaminya: 'Maaf ya kalau ada salah kata dan perbuatan, tapi lebih banyak kata sih daripada perbuatan.'"
Tuhan tertawa. Tawa-Nya dalam, seperti denting piring yang bersih. "Setidaknya mereka masih sadar kalau mulut bisa lebih tajam dari tangan."
Seseorang datang membawa piring isi ketupat, opor, dan sambal goreng kentang. Ia tersenyum ke arah kami. "Silakan, Pak. Ambil aja."
Tuhan menerima dengan wajah sumringah. "Terima kasih. Ini favorit-Ku."