Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Tidak Percaya Dukun dan Santet

30 Agustus 2022   01:21 Diperbarui: 30 Agustus 2022   12:45 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini terjadi fenomena menarik (walaupun saya agak telat menuliskan ini), yaitu perseteruan konten youtube antara Pesulap Merah dan Gus Samsudin. Perseteruan ini tentang konten logis dan non logis, teknik sulap dan teknik pengobatan dukun.

Saya tidak akan membahas perseteruan tersebut karena hal itu jelas bagi saya hanya tentang perang konten saja. Yang menarik adalah biasnya masalah dan melebarnya masalah ke mana-mana, termasuk tentang istilah bahasa yang digunakan. Misalnya adalah munculnya asosiasi dukun yang menuntut Pesulap Merah karena tidak percaya dengan dukun dan adanya Santet.

Saya tertarik mencermati kalimat ini: "Saya tidak percaya dukun dan adanya santet."

Pertama, apakah kita berhak menuntut seseorang untuk percaya terhadap sesuatu? Kalimat 'saya tidak percaya dukun dan santet' adalah hak pribadi, karena ini merupakan keyakinan. Kita masing-masing tentu mempunyai cara pandang. Apabila orang lain menggunakan cara pandang lain untuk meyakini atau tidak meyakini dukun dan santet, maka hal tersebut merupakan kebebasan dirinya dalam berkeyakinan.

Kedua, apakah apabila ada orang yang yakin dengan dukun dan adanya santet lantas harus menjelaskan kepada yang tidak percaya tentang bukti-bukti yang ada agar orang lain percaya dan mempunyai keyakinan yang sama?

Saya mencoba melakukan eksperimen di tiktok dengan membuat video pendek bahwa santet tidak ada dan cara kerja santet adalah cara kerja meracuni orang lain tanpa batuan jin atau makhluk ghoib lain. Saya mencoba mengemukakan cara pandang saya dan apa yang terjadi? Dari 225 komentar, hampir semua menyalahkan saya (lebih ke hujatan) bahwa saya tidak percaya adanya santet dan makhluk ghoib. Bahkan ada yang mengajak saya untuk membuktikan hal tersebut agar saya percaya.

Eksperimen itu menjadi menarik bagi saya, karena sedikit banyak memperlihatkan kepada saya tentang banyak orang yang belum paham mengenai perbedaan cara pandang dalam hidup ini. Banyaknya orang yang berkomentar untuk mengajak saya membuktikan adanya santet adalah bukti bahwa banyak orang tidak suka orang lain berbeda cara pandang. Mereka lebih memilih bertindak untuk memaksakan cara pandangnya daripada memilih untuk duduk bersama dan berbagi cara pandang masing-masing.

Sisi yang lain, dalam eksperimen video tersebut saya juga menemukan bahwa orang gampang marah ketika apa yang diyakininya disangkal oleh orang lain, dalam hal ini keyakinan tentang adanya santet. Mereka yang yakin bahwa santet itu ada dan nyata akan melakukan tindakan yang gigih memperlihatkan bukti-bukti dengan tujuan orang yang tidak yakin akan berubah menjadi yakin seperti dirinya.

Kalau ada orang yang tidak pecaya dengan dukun dan santet, masalahnya di mana? Toh itu adalah keyakinannya sendiri. Apakah orang-orang yang tidak percaya harus dibuat percaya? Siapa yang mengharuskan dan siapa yang berhak memaksa orang lain tentang keyakinan?

Walaupun eksperimen video saya tidak dapat dikatakan mewakili masyarakat Indonesia, namun setidaknya saya dapat melihat reaksi yang dapat saya maknai dari sisi budaya hidup bersama. Bagaimana kita akan maju apabila tidak dapat menerima perbedaan yang ada, terutama perbedaan keyakinan. Yang tidak percaya dengan dukun dan santet ya biarkan saja. Yang percaya dengan dukun dan santet ya biarkan juga.

Komentar yang menjunjung apresiasi perbedaan cara pandang adalah bertanya seperti, "Mengapa anda tidak percaya? Dapatkah anda ceritakan mengapa anda tidak percaya?", daripada langsung memberikan penghakiman seperti, "Heh, santet itu ada! Coba anda ke sini akan saya buktikan bahwa santet itu ada!"

Yang percaya dapat bertanya kepada yang tidak percaya dan yang tidak percaya dapat bertanya kepada yang percaya sehingga masing-masing diperkaya dengan sudut pandang berbeda tanpa harus meyakinkan satu dan lainnya. Yang percaya tidak memaksakan pendapat kepada yang tidak percaya untuk yakin dan yang tidak percaya tidak memaksakan pendapat kepada yang percaya bahwa itu tidak ada.

Memahami bahasa sebagi pesan dalam berkomunikasi juga penting. Kalimat "saya tidak percaya dengan dukun dan santet" apabila tidak dipahami dengan baik maka akan ditafsirkan sebagai tantangan. Kalimat tersebut cenderung dilihat sebagai tantangan daripada sebagai opini. Kalau kita 'melek' literasi maka kita seharusnya membuat opini baru sebagai antitesis opini sebelumnya, daripada membuat hujatan, nyinyiran atau menyalahkan.

Eksperimen video saya di tiktok memperlihatkan saya bahwa tingkat literasi kita masih sangat rendah. Ada enam komponen dalam literasi dasar ini, yaitu kemampuan baca-tulis-berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi, keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Akhirnya komen-komen yang sangat pedas, hujatan, nyinyiran dan bahkan tantangan itu menjadi komen yang menarik bagi saya untuk terus mempelajari sikap dan budaya manusia, terutama sikap dalam menghadapi perbedaan opini dan keyakinan.

Salam cerdas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun