Akibat kekalahan itu JK sulit bertarung atas nama Golkar. Oleh karena itu kembali naluri politiknya mencari peluang, bagaimana cara masuk istana.
Tak lama kemudian muncullah euforia Jokowi si tukang kayu dari Surakarta.
Jokowi saat itu baru saja menang Pilgub DKI 2012. Tetapi magnitude leadership-nya membimbing tokoh-tokoh di pusat untuk mengusung sang mantan walikota untuk maju Pilpres 2014.
Karena Jokowi baru tiba di Jakarta maka harus ada pendamping yang bisa melengkapi kekurangan itu. Saat itulah JK tampil sebagai dewa penolong. JK dianggap berpengalaman dan di sisi lain sedang berada dalam posisi cenderung menyelisihi induk partainya, Golkar.
Lawan Jokowi-JK yaitu Prabowo-Hatta punya mayoritas suara DPR; tetapi dalam pilpres terbukti Prabowo-Hatta tak mampu mengolah basis suara partai-partai pengusungnya saat itu. Golkar sendiri sebagai rumah politik JK berada di pihak Prabowo-Hatta.
Dari rekam jejak JK dalam pesta demokrasi Indonesia di atas sedikit banyak kita bisa membaca pasang surut karier politik JK.
Ketika tempo hari JK bicara masalah kekosongan kepemimpinan maka itu bisa dimaknai pula isyarat menuju saga pilpres tahun 2024 mendatang --meski berlatar belakang hiruk pikuk baliho made in Petamburan--.
Ada siklus 10 tahunan di mana JK memperlihatkan interferensi antara peruntungan dan kapasitas pribadi. Tahun 2004 ia menekuk petahana Megawati setelah bersekutu dengan SBY. Dan pada tahun 2014 politisi Makassar ini menggulung kubu petahana SBY dengan beraliansi dengan kubu penantang yaitu Jokowi.
Boleh jadi JK tahun 2024 nanti akan turut memainkan peran penting sebagai salah satu king maker dengan interval hoki 10 tahunan yang ia miliki.