Penurunan baliho dan spanduk FPI yang diinisiasi Pangdam Jaya di Jakarta berlanjut di kota-kota lain di Indonesia. Satpol PP seolah-olah baru sadar bahwa baliho dan spanduk itu melanggar berbagai peraturan.
Pertimbangan pelibatan TNI adalah untuk menghindari konflik horizontal sambil menegaskan bahwa sikap aparat tegak lurus dengan langkah penegakkan hukum yang dilakukan pemerintah.
TNI kemudian digebuki kanan kiri oleh politisi; dianggap mau menghidupkan dwifungsi ABRI, otoriter, hingga menyalahi tugas dan wewenang. Tetapi para pengkritik itu menutup mata, bertahun-tahun pelanggaran iklan FPI tidak ditindak Satpol PP.
Di Jakarta sendiri dikatakan bahwa penertiban sudah dilakukan.
Masalahnya begitu diturunkan, baliho dan spanduk tersebut kemudian dipasang lagi. Ada juga argumen  lain yaitu Satpol PP memang tidak berani melakukan penindakkan sehingga membutuhkan dukungan TNI-Polri.
Dalam konteks pelanggaran peraturan dan ketertiban ternyata kasusnya bukan soal baliho saja.
Aksi FPI bersama koleganya seperti PA 212 atau GNPF dahulu kerap mengganggu ketertiban umum. Yang terakhir yaitu saat penjemputan kedatangan Ketum Rizieq Shihab dari Saudi yang menyebabkan Bandara Soetta lumpuh 4-5 jam.
Akibat insiden itu 118  penerbangan dalam dan luar negeri terganggu. Ada kerugian penumpang dan pengguna jasa lainnya di situ. Biaya intangible adalah citra lembaga penerbangan kita yang ikut tercoreng karena bandara adalah objek vital yang dilindungi undang-undang.
Diketahui bahwa kerumunan massa dalam acara-acara tersebut telah memunculkan klaster penularan baru yaitu di Petamburan, Tebet, dan Megamendung. Ada sekitar 70 sampai 80 peserta yang reaktif positif saat uji swab. Kontak erat dari warga yang tertular corona itu tentulah berjumlah ratusan atau lebih.
FPI bukannya tidak mengerti peraturan dan dampak pelanggaran prokes corona.