Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Catatan Pulang

21 Juli 2019   10:36 Diperbarui: 21 Juli 2019   10:47 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 20 Juli 2019

Kemarin, Seorang pria paruh baya tampak tersenyum melihat pemuda yang 3 tahun belakangan ini mencicipi kehidupan kota tiba-tiba dengan gontai berjalan menuju ladang dengan rambut coklat mengkilap dan ekspresi tersenyum malu lantaran belakangan ini sudah terlalu sombong dengan 'rumah' sendiri, tempat pemuda ini dibesarkan.

"Bagaimana kabarmu? rupanya kamu tidak tersesat setelah pulang kembali" ujarnya dan dilanjutkan dengan tertawaan geli. Tidak terlalu banyak yang berubah, hanya saja diujung ladang tampak sebuah villa yang baru kuketahui keberadaannya. "Itu salah satu sumber masalah bagi kami, kala hujan biasanya air akan menggenangi seluruh sawah, tapi semenjak keberadaan villa air semuanya lari kesana, sebab disana lebih rendah" sambungnya.

Dalam setahun mereka hanya bisa memanen padi satu kali, meskipun jenis padi yang ditanam adalah padi 4 bulan. "Rencananya ada program dari kelompok tani bakal dibuat irigasi, jadi nanti proses perairan tidak sulit lagi" imbuhnya. 

"Usia padi ini baru 1 bulan, sedih lihat tanah udah mulai retak-retak, belum lagi hama, kalo bisa besok hujan lah.." ucap beliau saat ditanyai mengenai usia padi, sepetak lahan ukuran 50x50 meter dijejeri oleh tanaman padi yang sudah setinggi lebih kurang 60 cm. 

Hujan mengguyur desaku pagi ini berkat do'a seorang petani padi yang kutemui kemarin sore, Setiap tetesnya memperbaiki tekstur tanah yang sebelumnya kering merekah-rekah membuat daun padi mulai menguning. Pak Rohim pasti amat bersyukur setelah mengetahui do'anya terkabul, mengingat raut wajahnya yang kelelahan setelah menjaring ikan bersama ketiga anaknya yang masih belia.

Sebagian besar pemilik lahan padi lebih memilih untuk tinggal ditengah sawah, tanpa listrik, jaringan, apalagi internet. Gaya hidup yang bahkan tidak tercemar ini mereka tetap bahagia, dan itu semua tercermin di muka anak-anak Pak Rohim yang dengan bahagianya menangkap ikan ditengah kubangan air surut ditengah lahan sawah.

Anak-anak Pak Rohim (dokpri)
Anak-anak Pak Rohim (dokpri)
Menghabiskan waktu satu jam bercengkrama dengan pak Rohim dan anak-anaknya membuat saya pribadi mengulang masa-masa saat masih duduk di bangku SD, dengan keadaan yang tidak jauh berbeda dengan mereka, saat bapak sibuk dengan kebun sayur ketimunnya saya, adik dan teman-teman sebaya kerap memancing ikan di sungai, di sawah, bahkan disekitaran pemakaman umum. Hal tersebut tentu saja menyenangkan meski pulangnya harus membawa badan yang super kudel.

Budaya modern menyapu habis budaya lokal termasuk di titik sentral desa, saya beruntung masih bisa menemukan anak-anak yang masih kegirangan bermain di lingkungan persawahan. Saya harus mendekati lahan pertanian dulu baru bisa menyaksikan anak-anak menjaring ikan, sisanya berlagak centil sambil menggenggam Handphone di jalanan.

Saya juga mendapati teman-teman sebaya yang dulu kerap kelayapan sama-sama sekarang sudah sangat malu-malu bahkan hanya untuk tegur sapa, beberapa dari mereka putus sekolah, menikah usia dini, tidak bekerja, berjudi, dan lain-lain. 

Mengapa teman-teman menjadi seperti ini? gerutu saya dalam hati, kendati demikian jika ditilik secara seksama mindset demografi masyarakat desa memang harus dikembangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun