"Bangsa yang berani menatap lukanya adalah bangsa yang sedang menyembuhkan dirinya. Sejarah yang jujur adalah pintu menuju keadilan dan arah yang benar."
Sejarah Itu sebagai Aset Strategis Bangsa
Saat anak saya bertanya mengapa kerusuhan 1998 terjadi, saya sedih, karena saya tak bisa menerangkan apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Saya hanya bisa menyampaikan apa yang saya alami saat itu. Saat itu, saya ada di Bogor, lalu naik bis dari Terminal BaranangsIang dengan pengawalan TNI. Jalanan sepi, di sepanjang jalan tol dalam kota tak ada kehidupan, seperti kota mati. Di jalanan, ada banyak batu berserakan. Bis pun berjalan perlahan zigzag menghindari bebatuan.
Yang saya sedih, saya tak bisa merekomendasikan sejarah yang mana dan versi siapa yang bisa dipercaya: mengapa kerusuhan itu terjadi.
Bagi saya, sejarah bukan sekadar jejak masa lalu. Ia adalah aset strategis bangsa, pembentuk identitas, pengikat memori kolektif, sekaligus kompas moral dan arah kebijakan publik di masa kini dan depan. Maka, memanipulasi sejarah bukan hanya bentuk kebohongan intelektual, tetapi dosa besar kepada publik. Itu merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan memori bangsa.
Dalam perspektif strategic risk, distorsi sejarah adalah ancaman laten yang dapat melumpuhkan fondasi kesadaran nasional dan ketahanan ideologis suatu negara.
Memori Kolektif dan Risiko Sistemik
Kita perlu menyadari, bahwa negara modern itu tak hanya dibangun di atas konstitusi. Tetapi juga di atas narasi sejarah yang dipercaya rakyatnya. Lebih jauh, Mahkamah Konsitusi pun tak kan luput dari liputan sejarah. Tak heran, semua produk kebijakan Mahkamah Konstitusi misalnya, akan menjadi penentu dan pemberi warna bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan berpolitik.
Tak heran kiranya, ketika sejarah diputarbalikkan, integritas memori kolektif pun tergerus. Ini menciptakan moral hazard berkepanjangan. Mulai dari mencuatnya ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara, hingga deligitimasi terhadap penderitaan korban pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk didalamnya, tumbuhnya generasi muda yang buta sejarah dan rentan radikalisasi ideologi baru.