"Ketahanan sejati lahir dari kejelian dan kepekaan membaca krisis sebagai panggilan untuk bertindak cepat, terbuka, dan berani menjaga komitmen strategis. Caranya: ‘Pikirkan apa yang tak terpikirkan!’”
Era ketidakpastian global rasanya terus meningkat. Ini nampak jelas “dimulai” saat pandemi tejadi. Kemudian terjadi gangguan rantai pasok, serangan siber, perubahan iklim, dan kian “dibabat” habis oleh AI. Mau tidak mau, siap atau pun tidak siap, organisasi modern dituntut untuk membangun ketahanan yang lebih dari sekadar bisa pulih dari disrupsi dan bencana.
Di sinilah letak urgensi perubahan paradigma Business Continuity (BC). Saatnya kita menggeser mindset dari pendekatan sempit berupa "recovery plan" menuju kerangka berpikir yang lebih luas, yakni "strategic resilience".
Sebagai pemerhati Business Continuity Management (BCM), dan praktisi di Crisis Management Response Team di Perusahaan publik, saya masih suka heran melihat para profesional Risk Management dalam berpraktik. Saya masih menemukan bahwa sebagian besar pelatihan dan implementasi BCM di lapangan masih berputar pada fase pemulihan operasional teknis. Padahal, inti dari BC bukan hanya memulihkan sistem, tetapi menjamin kelangsungan misi dan nilai organisasi secara utuh.
Mengapa Perlu Pergeseran Paradigma?
BC bukan tentang "bagaimana kita bangkit setelah jatuh" semata, melainkan juga "bagaimana kita tetap berdiri ketika badai datang". Inilah yang membedakan recovery plan dari strategic resilience.
Recovery plan hanya menjawab pertanyaan: "Bagaimana kita melanjutkan operasional setelah insiden?"
Sementara strategic resilience bertanya lebih jauh: "Apa misi organisasi yang harus terus hidup - dalam kondisi apa pun? Dan bagaimana kita membangun kapabilitas lintas sistem untuk menjaganya?"
Perusahaan yang hanya berfokus pada pemulihan teknis sering kali lupa pada hal-hal esensial. Mereka lupa bahwa reputasi, kepercayaan pelanggan, dan keutuhan nilai strategis tak selalu bisa dipulihkan dengan sekadar restart sistem atau back-up data. Ketahanan strategis harus tertanam dalam DNA organisasi. Mulai dari level operasional, sistem pendukung, hingga mindset seluruh karyawannya di semua level. Hal strategis, taktis dan teknis, harus diberikan sesuai level jabatan, jenjang dan rentang kendalinya di organisasi.
Pilar Ketahanan Strategis: Lebih dari Sekadar IT dan Fasilitas
Dalam pendekatan strategic resilience, terdapat setidaknya lima pilar utama yang menjadi fokus:
1. Kepemimpinan yang resilien. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dalam ambiguitas dan tetap menjaga moral tim di tengah tekanan.
2. Ketahanan budaya organisasi. Budaya yang adaptif dan agile, bukan hanya patuh prosedur. Inilah fondasi kesiapan psikologis dan kolektif. Ada banyak kasus terjadi, karena calon karyawan baru hingga pimpinan departemen direkrut, namun tidak melalui proses culture fit yang baik, ketat, memadai, dan efektif.
3. Manajemen risiko terintegrasi. Risk awareness bukan hanya milik departemen tertentu, tapi menjadi kesadaran kolektif dalam pengambilan keputusan. Departemen CMRT (Crisis Management Response Team) misalnya, harus secara aktif menyampaikan program dan membahas hal-hal sensitive yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.
4. Komunikasi krisis yang taktis dan etis. Mampu mengelola narasi publik secara transparan, menjaga kepercayaan tanpa panik atau menutup-nutupi. Kerjasama dengan Public Relation, Customer Relation, Industrial Relation dan para Dept Head, haruslah lekat, intens dan harmonis.
5. Konektivitas stakeholder dan rantai nilai. Tidak hanya memikirkan internal, tapi bagaimana menjaga sinergi dengan mitra kunci, pemasok, dan komunitas.