"Misi sejati bukan ditulis untuk memajang, tapi untuk menuntun -- mengakar dalam nurani, bergerak dalam strategi, dan mekar dan terus bertumbuh dalam aksi nyata."
Saat Misi Tak Lagi Jadi Dekorasi Dinding
Tak jarang, saat saya mengunjungi sebuah organisasi hebat - entah itu sekolah unggulan, perusahaan ternama, atau instansi pemerintah - saya membaca pernyataan visi-misinya yang terpajang megah di ruang kerja sang pemimpin. Kadang juga terpampang di dinding lobi kantor, atau di ruang tunggu tamu.
Kalimatnya terdengar indah, bahkan puitis. Tapi setelah ketemu sang leader - pemimpin tertinggi di organisasi itu, mereka sendiri ternyata kurang faham: "Apa sebenarnya misi inti organisasi ini?". Seperti ada ruang kosong yang tak terjawab, "Bagaimana misi ini menggerakkan cara Anda mengambil keputusan setiap hari?". Dari obrolan ringan, saya menemukan bahwa sang leader memberikan jawaban yang melenceng. Dalam hati, saya hanya berkeluh saja, "Ah, ini mah sekadar kutipan hafalan yang tak menggambarkan kenyataan."
Tentu saja, dalam kesempatan yang pas dan dirasakan nyaman, pada akhirnya saya sampaikan juga visi dan misi yang lebih baik. Syukur alhamdulillah, mereka appreciate dan merubah visi dan misinya. Dari sini saja, saya merasa senang bisa turut memberikan "legacy kecil" bagi organisasi itu.
Paradoks Visi dan Misi
Inilah paradoks yang sering terjadi: misi disanjung secara simbolik, tapi dilupakan secara strategik.
Misi seharusnya menjadi kompas yang jernih, bukan pajangan yang kabur. Ia bukan slogan untuk mempercantik profil perusahaan, melainkan sistem navigasi yang terhubung erat dengan jantung organisasi: nilai inti, keunggulan bersaing, diferensiasi pasar, hingga dampak sosial jangka panjang.
Sayangnya, tak sedikit pendiri, pemimpin, bahkan orang yang mengaku berpengalaman menyusun misi secara terbalik. Nilai terdalam diletakkan di posisi akhir. Fokus internal tidak muncul sama sekali. Atau yang lebih umum: misi dibuat untuk menyenangkan mata, bukan menggerakkan manusia.
Misi bukan soal "indahnya bahasa", tapi "benarnya urutan dan kuatnya keterhubungan" dengan visi. Ini bukan sekadar teori - ini adalah soal keberlangsungan dan daya tahan organisasi.
Tiga Contoh Kasus Menarik
Dalam berbagai kesempatan, saya pernah menjumpai tiga contoh nyata yang menarik. Temuan saya ini menggambarkan betapa pentingnya menyusun visi dan misi dengan urutan dan esensi yang tepat. Sebagai contoh, di sebuah sekolah ternama, nilai ketuhanan -- yang seharusnya menjadi fondasi utama - justru diletakkan di urutan kelima dalam misi. Di sebuah pabrik, visi dan misinya ditulis dengan bahasa yang indah di company profile. Namun, tak menyentuh inti, membingungkan pembaca, dan tak menunjukkan arah strategis.
Sementara di sebuah kementerian, visinya justru terlalu panjang - ngak tanggung-tanggung nyaris 300 kata - sementara misinya hanya 40-an kata. Tentu saja, ini membuat keduanya tampak tidak seimbang, dan boleh dikatakan saling terputus. Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa tanpa penataan yang tepat, misi bisa kehilangan daya arah, dan visinya gagal menjadi penuntun.