Aku tak hendak menyembunyikan apa yang tengah berselimut di relung hati.
Ada rasa yang akhir-akhir ini kerap menyapa diam-diam
rasa ketar-ketir yang menggigilkan jiwa dalam hening malam.
Waktu...
ia berjalan terlalu cepat, seolah tak memberi jeda untuk sekadar menarik napas panjang.
Dan aku pun bertanya dalam hati yang lirih:
Apakah aku siap, jika saat itu tiba?
Aku membayangkan
bagaimana jika kematian lebih dahulu mencabut belahan jiwaku?
Bagaimana jika anak-anakku tumbuh, lalu pergi membawa takdirnya sendiri?
Bagaimana jika aku menua...
sendiri...
duduk di beranda sepi,
dengan kenangan yang mengendap di antara keriput
dan doa-doa yang tak henti kulangitkan?
Aku takut hidup sendiri
Aku selalu harus ada teman dalam hal apapun
Bayang-bayang itu terkadang datang seperti angin malam yang menusuk,
menerpa dinding hati yang rapuh,
menghadirkan kecemasan yang tak bisa kutepis hanya dengan logika.
Dan saat itu,
yang bisa kulakukan hanyalah cepat-cepat beristighfar,
mengucap lirih:
"Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah..."
seakan dengan itu, aku sedang menyapu debu dunia dari cermin jiwaku.
Tapi kemudian... aku ingat,
bahwa rasa takut yang datang dari kesadaran akan kefanaan,
bukanlah kelemahan,
melainkan anugerah dari Allah untuk menuntun kita kembali pulang -
bukan pulang ke rumah-rumah dunia,
tapi pulang ke pelukan iman,
ke rumah yang abadi: akhirat.
Ya, kuteguhkan lagi hatiku
Rasa takut akan kehilangan bukan kelemahan,
tapi jalan sunyi yang mengantar jiwa kembali kepada Allah
dengan cinta dan kesiapan untuk pulang.
Rasulullah SAW bersabda:
"Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian." (HR. Tirmidzi)
Karena di situlah, letak kemuliaan hati seorang mukmin:
bukan pada banyaknya harta,
bukan pula pada panjangnya usia,
tetapi pada siapnya hati untuk kembali, kapan pun panggilan itu tiba.
Maka hari ini,
aku tidak lagi melihat rasa "ketar-ketir" itu sebagai kelemahan,
tapi sebagai teguran lembut dari Allah:
agar aku kembali menata bekalku.
Agar aku lebih sungguh-sungguh mencintai keluarga dengan niat lillah,
bukan semata karena takut kehilangan.
Agar aku tidak terlalu menggenggam dunia,
karena yang sejati adalah yang menemani sampai liang lahat - yaitu amal dan cinta karena-Nya.
Lalu, kubisikkan pada hatiku:
Wahai jiwa...
Jangan resah oleh masa depan yang belum tentu tiba.
Tapi resahlah jika hari ini kau lalui tanpa zikir,
tanpa amal,
tanpa cinta yang mengalir dari kasih Ilahi.