Mohon tunggu...
Agung Maulana
Agung Maulana Mohon Tunggu... -

Learning how to be trainer, teacher, instructor. writer, building designer, team leader, multimedia creator and entrepreneur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hubungan Prilaku Siswa SMP dan SMA Sederajat Sebagai Remaja dengan Kesulitan Belajar yang Dihadapinya

1 November 2012   04:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Latar Belakang

Istilah adolescentia berasal dari kata latin : Adulescentis. Dengan adulescentia dimaksudkan masa muda. Adolescence menunjukan masa yang tercepat antara usia 12–22 tahun yang mencakup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut. Untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam pemakaian istilah pubertas dan adolescensia, akhir-akhir ini terlihat adanya kecenderungan untuk memberikan arti yang sama pada keduanya. Hal ini disebabkan sulitnya membedakan proses pada masa pubertas dan mulainya proses psikis pada adolescensia.

Masa remaja adalah masa yang khusus, penuh gejolak karena pada pertumbuhan fisik terjadi keseimbangan. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan berpikir, bahasa, emosi, dan sosial anak. Makna remaja banyak diartikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik pihak hukum, ahli psikologi, maupun pandangan masyarakat yang mengaitkan dengan sistem budayanya. Secara umum anak dikatakan mencapai masa remaja ditandai oleh kematangan fungsi seksualnya dan munculnya tanda-tanda kelamin sekunder.

Kehidupan sosial pada jenjang remaja  ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup sehubungan dengan masalah yang dialami remaja. Keadaan atau peristiwa ini oleh Erik Erickson (dalam Lefton, 1982: 281) dinyatakan bahwa anak telah dapat mengalami krisis identitas. Proses pembentukan identitas diri dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang kompleks. Konsep diri anak tidak hanya terbentuk dari bagaimana anak percaya tentang keberadaan dirinya sendiri, tetapi juga terbentuk dari bagaimana orang lain percaya tentang keberadaan dirinya. Erickson mengemukakan bahwa perkembangan anak sampai jenjang dewasa melalui 8 (delapan) tahap dan perkembangan remaja ini berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa anak ingin menentukan jati dirinya dan memilih kawan akrabnya. Seringkali anak menemukan jati dirinya sesuai dengan atau berdasarkan pada situasi kehidupan yang mereka alami. Banyak remaja yang amat percaya pada kelompok mereka dalam menemukan jati dirinya. Dalam hal ini Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural.

Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai penimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan kemampuan. Baik di dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang umum dialami oleh remaja dan paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Di dalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing untuk tampil menonjol, memperlihatkan akunya. Oleh karena itu, sering terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi setiap orang. Tetapi sebaliknya di dalam kelompok itu terbentuk suatu persatuan yang kokoh, yang diikat oleh norma kelompok yang telah disepakati.

Berdasarkan pendapat Erickson tadi bahwa perkembangan anak sampai jenjang dewasa, yaitu masa remaja memilih kawan akrabnya. Oleh karena itu, banyak remaja yang berpikiran bahwa masuk sekolah hanya untuk menambah pergaulan, memperbanyak teman, siswa yang berpendapat seperti itu sudah jelas tidak mempunyai suatu tujuan yang jelas yang akan mendorong kemajuan studinya. Tujuan yang samar-samar tidak realistis, juga dapat menjadi penghalang atas kemajuan studinya. Bukan kemajuan yang akan dicapainya, melainkan kegagalan dan kekecewaan yang akan diperolehnya.

Kajian Pustaka

1.Pengertian Remaja

Sebagai pedoman umum untuk remaja Indonesia dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbangannya sebagai berikut :

a.Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik)

b.Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial)

c.Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity) (Erik Erickson), tercapainya fase genital dari perkembangan kognitif (piaget) maupun moral (Khohlberg)

d.Batas usia 24 tahun merupakan batasan maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang lain, belum mempunyai hak-hak orang dewasa.

e.Status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

Garry 1963 (Oxendine, 1984: 317) mengkategorikan perbedaan individual ke dalam bidang-bidang berikut :

§Perbedaan fisik : usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bertindak.

§Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga dan suku.

§Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat dan sikap.

§Perbedaan inteleginsi dan kemampuan dasar

§Perbedaan kecakapan atau kepandaian di sekolah

Dalam usia remaja seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis. Pada tahap ini seseorang bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi. Ia dapat mengambil kesimpulan dari suatu pernyataan seperti : kalau mobil A lebih mahal daripada mobil B, sedang mobil C lebih murah daripada mobil B, maka ia dapat menyimpulkan mobil mana yang paling mahal dan yang mana yang paling murah.

Para remaja menjalani tugas mempersiapkan diri untuk dapat hidup dewasa, dalam arti mampu menghadapi masalah-masalah, bertindak dan bertanggung jawab sendiri. Oleh karena itu, tugas perkembangan pada masa remaja ini dipusatkan pada upaya untuk menanggulangi sikap dan pola prilaku kekanak-kanakan.

Masa Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Hall dalam Libert dan kawan-kawan, (1974: 478) memandang bahwa masa remaja ini sebagai masa “Storm and stress”. Ia menyatakan bahwa selama masa remaja banyak masalah yang dihadapi karena remaja itu berupaya menemukan jati dirinya (identitasnya), kebutuhan aktualisasi dirinya. Usaha penemuan jati diri remaja dilakukan dengan berbagai pendekatan, agar ia dapat mengaktualisasi secara baik. Aktualisasi diri merupakan bentuk kebutuhan untuk mewujudkan jati dirinya.

Beberapa masalah yang dihadapi remaja sehubungan dengan kebutuhannya :

a.Upaya untuk mengubah sikap dan prilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan prilaku dewasa, tidak semuanya dapat dengan mudah dicapai baik oleh remaja laki-laki maupun perempuan.

b.Seringkali para remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan-perubahan fisiknya.

c.Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat menimbulkan kebingungan remaja untuk memahaminya, sehingga sering terjadi salah tingkah dan prilaku yang menentang norma. Pandangannya terhadap sebaya lain jenis kelamin dapat menimbulkan kesulitan dalam pergaulan.

d.Dalam memasuki kehidupan masyarakat, remaja yang terlalu mendambakan kemadirian dalam arti menilai dirinya cukup mampu untuk mengatasi problema kehidupan, kebanyakan akan menghadapi banyak masalah, terutama masalah penyesuaian emosional.

e.Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan untuk hidup mandiri secara sosial ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan pilihan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan.

f.Berbagai norma dan nilai yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja, sedang di pihak remaja merasa memiliki nilai dan norma kehidupannya yang dirasa lebih sesuai.

Salah satu dari beberapa konsekuensi masa remaja yang paling penting adalah pengaruh jangka panjangnya terhadap sikap, prilaku sosial, minat dan kepribadian. Kalau sikap dan prilaku remaja kurang dapat diterima, yang sebenarnya merupakan salah satu ciri dari kehidupan remaja, dapat menghilang setelah tercapainya keseimbangan, maka keadaan ini tidak begitu parah. Akan tetapi, sejumlah studi telah menemukan bahwa ciri kepribadian dan sikap tertentu yang sudah terbentuk ini biasanya sulit dihilangkan, bahkan dalam beberapa kasus tampak semakin parah. Pengaruh ketidaknyamanan pada masa remaja yang paling menetap adalah dalam hal penyimpangan usia kematangan kelaminnya.

Pada usia ini para remaja mendekati efisisiensi intelektual yang maksimal, tetapi kurangnya pengalaman membatasi pengetahuan mereka dan kecakapannya untuk memanfaatkan apa yang diketahui. Karena banyak hal yang dapat dipelajari hanya melalui pengalaman, para siswa mungkin mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami konsep-konsep abstrak dan mungkin tidak memahami sepenuhnya emosi-emosi yang dilukiskan dari novel-novel, drama-drama dan puisi-puisi. Karena itu pada tingkatan ini diperlukan metode diskusi dan informasi untuk menentukan kedalaman pengertian siswa. Apabila guru dihadapkan pada perbedaan-perbedaan interpretasi tentang konsep-konsep yang abstrak, guru hendaknya menjelaskan konsep-konsep tersebut dengan sabar, simpatik, dan dengan hati terbuka, bukan dengan jalan marah-marah atau tidak bisa menerima kesalahan-kesalahan siswa.

2.Pengertian Belajar

Ada yang berpendapat, bahwa belajar adalah kegiatan-kegiatn fisik atau badaniah. Hasil belajar yang dicapai adalah berupa perubahan-perubahan dalam fisik itu. Pandangan lain menitikberatkan pendapatnya bahwa belajar adalah kegiatan rohaniah atau psikis. Hasil belajar yang dicapai adalah perubahan-perubahan dalam psikis. Ahli belajar modern mengemukakan dan merumuskan perbuatan belajar sebagai berikut : belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Perumusan kegiatan belajar yang tidak memisahkan antara perubahan-perubahan jasmaniah dan rohaniah. Sesungguhnya kedua aspek itu saling melengkapi dan bertalian satu sama lain. Keduanya merupakan aspek-aspek yang bersifat komplementer. Manusia dalam perbuatannya selalu menuntut kegiatan rohani dan jasmani.

Ada tiga jenis tafsiran belajar yaitu:

Belajar menurut ilmu jiwa daya

Menurut ilmu jiwa daya, jiwa manusia terdiri dari berbagai daya, seperti daya berpikir, mengingat perasaan, mengenal, kemauan dan sebagainya. Daya-daya ini dapat berkembang dan berfungsi apabila dilatih dengan bahan-bahan dan cara-cara tertentu. Berdasarkan pandangan ini, maka yang dimaksud dengan belajar adalah usaha melatih daya-daya itu agar berkembang, sehingga kita dapat berpikir, mengingat dan sebagainya. Cara yang digunakan ialah dengan menghafal, memecahkan soal-soal dan berbagai jenis kegiatan lainnya.

Belajar menurut ilmu jiwa assosiasi

Menurut teori ilmu jiwa assosiasi, jiwa manusia terdiri dari assosiasi dari berbagai tanggapan yang masuk ke dalam jiwa kita. Assosiasi itu biasanya terbentuk berkat adanya hubungan antara perangsang-perangsang dan reaksi-reaksi yang disebut hubungan stimulus-response. Menurut pandangan ini maka belajar berarti membentuk hubungan-hubungan stimulus response dan melatih hubungan-hubungan itu agar bertalian erat. Belajar demikian sifatnya mekanis, seperti mesin dan akhirnya akan terbentuk kebiasaan-kebiasaan dan setumpukan ilmu pengetahuan.

Belajar menurut ilmu jiwa Gestalt atau organisme

Menurut teori ilmu jiwa Gestalt (keseluruhan), jiwa manusia bukan terdiri dari tanggapan (elemen-elemen), melainkan merupakan keseluruhan yang bulat dan berstruktur. Jiwa manusia hidup dan didalamnya terdapat prinsip aktif, dimana individu senantiasa berkecenderungan untuk beraktifitas, berinteraksi dengan lingkungan. Itu sebabnya belajar menurut pandangan ini berarti mengalami, bereaksi, berpikir secara kritis.

Belajar adalah aktivitas sekaligus kebutuhan hidup manusia yang merupakan proses kreatif yang berlanjut sepanjang hidupnya. Manusia melakukan kegiatan belajar dengan mengembangkan potensi diri sebagai upaya penyempurnaan martabat manusia berkembang sebagai suatu gejala psikis hingga tingkat kematangan (kedewasaan) tertentu, sehingga manusia mampu mempertahankan dirinya sekaligus merespon gejala-gejala yang datang dari luar dirinya (lingkungan) dalam rangka penegembangan dimensi-dimensi kehidupannya.

Banyak teori dan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para ahli yang menerangkan tentang prilaku belajar manusia, diantaranya Cronbach dan Sartain (Moh. Surya, 1979 : 58) merumuskan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Perubahan tersebut meliputi hal-hal respons terhadap stimulus, perolehan skill, pengetahuan tentang fakta dan pengembangan sikap-sikap tertentu.

Suatu perubahan tingkah laku akibat perbuatan belajar diartikan apabila seseorang melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukannya. Sehingga prilakunya akan berbeda dari sebelumnya bila menghadapi suatu situasi. Tentang perubahan prilaku sebagai akibat dari belajar dijelaskan oleh Moh. Surya (1979 :60) sebagai berikut : “Perubahan yang dimaksud akan nampak dalam penguasaan     pola-pola sambutan (respons) yang baru terhadap lingkungan berupa : skill (keterampilan), habbit (kebiasaan), attitude (sikap), ability (kecakapan), knowledge (pengetahuan), understanding (pemahaman), appreciation (penghargaan) dan sebagainya”.

Sedangkan bentuk-bentuk perubahan tingkah laku dikemukakan oleh Winkel (1981 : 15) yang diakibatkan oleh belajar adalah sebagai berikut : “Belajar pada manusia merupakan proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan/menetap. Perubahan-perubahan itu bisa merupakan sesuatu yang baru, yang segera nampak dalam prilaku nyata atau masih tinggal tersembunyi : mungkin juga perubahan hanya berupa penyempurnaan terhadap hal yang sudah dipelajari. Proses belajar dapat berlangsung dengan disertai kesadaran dan intensi, tetapi tidak mutlak perlu”.

3.Faktor-faktor Kesulitan Belajar

Belajar di sekolah tidak senantiasa berhasil tetapi sering kali ada hal-hal yang bisa mengakibatkan kegagalan atau setidak-tidaknya menjadikan gangguan yang bisa menghambat kemajauan belajar. Kegagalan atau keterlambatan kemajuan siswa biasanya ada hal-hal yang menyebabkannya. Hal-hal mana bisa disadari oleh seseorang. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa faktor yang bisa menimbulkan kesulitan belajar kepada para mahasiswa pada umumnya; faktor-faktor ini perlu diperhatikan agar kita senantiasa menyadari dan mencoba menghindarkan diri dari faktor-faktor itu.

Adapun faktor yang bisa menimbulkan kesulitan itu dapat kita golongkan menjadi :

a.faktor-faktor yang bersumber dari diri sendiri :

Tidak mempunyai tujuan belajar yang jelas

Kurangnya minat terhadap bahan pelajaran

Kesehatan yang sering terganggu

Kecakapan mengikuti kegiatan belajar

Kebiasaan belajar

Kurangnya penguasaan bahasa

b.faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah :

Cara memberikan pelajaran

Kurangnya bahan-bahan bacaan

Kurangnya alat-alat

Bahan pelajaran tidak sesuai dengan kemampuan

Penyelenggaraan kegiatan belajar terlalu padat

c.faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga :

Masalah kemampuan ekonomi

Masalah broken home

Rindu kampung

Bertamu dan menerima tamu

Kurangnya kontrol orang tua

d.faktor-faktor yangbersumber dari lingkungan masyarakat :

Gangguan dari jenis kelamin lain

Bekerja disamping sekolah

Aktif berorganisasi

Tidak dapat mengatur waktu rekreasi dan waktu senggang

Tidak mempunyai teman belajar bersama

Memperbaiki Diri

Tidak banyak siswa yang suka menyadari kegagalan yang dialaminya. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa banyak sekali siswa yang mengalami kegagalan itu, seperti tidak lulus tentamen, tak lulus ujian, mendapat angka yang buruk dalam suatu mata pelajaran atau paper yang dibuatnya dan lain-lain. Dan kebanyakan apabila seseorang berulang kali mengalami kegagalan dalam studinya, maka resikonya sangat berat, menimbulkan kejengkelan, kemarahan, kemalasan, kebosanan, bahkan kebencian. Dan selain itu juga tak terhitung banyaknya para siswa yang mengalami keadaan demikian terpaksa meninggalkan sekolah dengan segala macam kerugian berupa gangguan-gangguan mental, kerugian biaya dan kehancuran dalam keseluruhan hidupnya. Satu hal yang perlu kita tanggapi usaha-usaha apa yang sebaiknya kita lakukan untuk memperbaiki diri, beberapa hal untuk direnungkan adalah sebagai berikut :

Bahwa peristiwa kegagalan adalah persoalan biasa, bukan sesuatu yang aneh.

Tiap kegagalan tentu
ada sebabnya.

Kita belajar tentunya menuju kesuatu cita-cita dan cita-cita itu hanya dapat dicapai berkat kerja keras, tekad ingin berhasil, pantang menyerah dan semangat juang yang menyala-nyala.

Berusaha keras baik sekali dilakukan.

Sikap menerima diri sendiri secara psikologis sangat perlu.

Keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri.

Belajarlah kembali lebih sistematis, lebih teratur dan hubungilah pembimbing.

Coba saudara periksa kembali teknik-teknik belajar yang dipergunakan.

Lakukan konsultasi dengan wali kelas.

Tinjaulah kembali sikap kepribadian kita.

DAFTAR PUSTAKA

Oemar Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar, Tarsito, Bandung, 1980.

Sunarto, Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Rineke Cipta, Jakarta, 2002.

Sudjana, Metoda Statistika, Tarsito, Bandung, 1992.

Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, Rosda, Bandung, 2001.

Mampiere, Andi. Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.

Rifai, Melly Sri Sulastri, Psikologi Perkembangan Remaja, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Penerbit Rajawali, Jakarta, 19884

Winkel WS., Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Gramedia, Jakarta,1983.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta,1992.

E.T. Ruseffendi, Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya, Semarang Press, Semarang , 1994.

Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, Sinar Baru, Bandung, 1987.

Ratna Willis Dahar, Teori-teori Belajar, Erlangga, Jakarta, 1996.

Sudirman, Tabrani R., Toto Fathoni, Zaenal Arifin, Ilmu Pendidikan, Remadja Rosda Karya, Bandung , 1988.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun