Mohon tunggu...
Agung Kurnia
Agung Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hamba Allah SWT

Agung kurnia mahasiswa uin walisongo semarang Jurusan Pendidikan Agama Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial: Salah Satu Peyebar Ketakutan Masyarakat Untuk Vaksin

21 November 2021   09:21 Diperbarui: 21 November 2021   09:26 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada awal Januari sewaktu program vaksinasi dimulai, vaksin diberitakan dengan judul-judul sensasional dan menggugah rasa. Ada yang bertajuk "Gejala Warga Meninggal Usai Disuntik Vaksin : Demam, Ngilu, Sesak Napas" hingga "Warga Takalar Meninggal Usai Vaksinasi, Ini Jenis Vaksin yang Disuntik".

Judul-judul di atas memang didasarkan fakta. Tapi, jika penyajian faktanya sepotong-sepotong (terlebih dalam judul), media sudah menanggalkan tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara bertanggung jawab dan menyeluruh.

Misinfodemics atau "pandemi digital" bukan barang baru. Dua istilah ini merujuk pada fenomena bahwa wabah penyakit kerap diikuti juga dengan mewabahnya informasi palsu, bahkan teori-teori konspirasi. Fenomena pandemi digital ini terjadi sepanjang tahun 2020. Berita-berita clickbait vaksin jurnalisme digital berpotensi memperkeruh situasi ini pada 2021 dan menjangkiti orang-orang dengan vaccine hesitancy.
Vaccine Hesitancy

Berdasarkan survei Kementerian Kesehatan Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) Agustus 2020, sekitar 27,6% responden masih skeptis terhadap vaksin Covid-19. Alasannya beragam, dari aspek kepercayaan, ketakutan terhadap efek samping, hingga ketidakyakinan akan efektivitas vaksin.

Berita tentang vaksin ramai dibahas setelah Presiden Joko Widodo menerima suntikan pertamanya. Beberapa media daring memanfaatkan kesempatan ini untuk enayangkan berita dengan judul clickbait seperti "Enam Jam Setelah Disuntikan Vaksin, Ariel NOAH Mulai Rasakan Efek Samping". Pada kesempatan ini, media juga memberikan panggung kepada Ribka Tjiptaning, anggota DPR yang menolak divaksin. Permasalahannya, judul-judul berita terkait Ribka Tjiptaning memberikan kesempatan kepadanya untuk mengirimkan pesan berbahaya terkait vaksin.

Media sangat mempengaruhi sikap masyarakat terhadap vaksin. Selagi media dapat mendidik, ia juga dapat menguatkan skeptisme tak berdasar masyarakat terhadapnya (Tran, dkk., 2018). Di Italia pada 2010-2015, misalkan, sekelompok peneliti memperlihatkan adanya hubungan antara penurunan angka partisipasi vaksinasi yang signifikan dan peningkatan pencarian kata kunci "vaksin autisme" di internet, yang kemungkinan mengantarkan mereka ke berita sengketa hukum terkait vaksin (Aquino dkk., 2017).

Pada tahun 1998, Andrew Wakefield dkk. menerbitkan paper yang menyatakan vaksin MMR (measlesmumpsrubella) berhubungan dengan autisme. Media-media meliput siaran pers Wakefield dan memberitakannya dengan judul seperti "Vaksin anak terkait dengan autisme" atau "MMR/autisme: sudahkah kita mempelajari bahayanya?" Penelitian Wakefield belakangan bukan cuma terbukti bermasalah dan dicabut oleh jurnal yang menerbitkannya. Wakefield juga menerima bantuan finansial dari pengacara yang berusaha memejahijaukan produsen vaksin.

Angka partisipasi vaksinasi MMR di Inggris anjlok setelah pemberitaan paper Wakefield tersebut. Di beberapa tempat, angka partisipasi ini menurun sampai dengan di bawah 70 persen (sebelumnya rata-rata di atas 90 persen). Dan pada 2008, angka kasus campak menjadi 1.370 di Inggris dan Wales setelah pada tahun 1998 hanya ada 56 kasus di kedua daerah  ini.
Pemberitaan yang layak

Bagi media dan jurnalisme, memberitakan vaksinasi merupakan tanggung jawab tersendiri karena hal ini menyangkut kepentingan publik. Berikut adalah lima tips pemberitaan vaksin yang disarankan pakar dan jurnalis untuk membantu pembaca menghadapi badai misinformasi digital.

Pertama, jurnalis sebaiknya memahami jenis informasi yang dihasilkan dari setiap tahapan uji klinis. Begitu pula dengan alur publikasi uji klinis tersebut, seperti mewaspadai jika bentuknya berupa siaran pers ketimbang jurnal akademis.

Kedua, terangkan kepada pembaca bahwa bisa ada efek samping dari vaksin Covid-19. Tujuannya, mempersiapkan masyarakat jika terjadi gejala-gejala umum seperti pusing, nyeri otot, atau kecapekan---bukan menakuti-nakuti dan malah menghindarkan publik dari vaksinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun