Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teknologi, Identitas, dan Pengakuan

13 Desember 2020   15:12 Diperbarui: 13 Desember 2020   15:15 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Paradoks identitas dan teknologi menjadi diskursus seksi dalam era kontemporer, perkembangan teknologi secara massif dalam bingkai revolusi 4.0 menjadi penanda adanya perubahan lanskap sosial, ekonomi, budaya, dan politik dunia hari ini.

Linimasa kajian teknologi dan identitas selama ini kebanyakan bermuara pada wacana terkait reprsentasi, dimana layar kaca menjadi arena bagi diri untuk menampilkan sesuatu dan berujung pada kehausan akan pengakuan khalayak (Aprianta, 2011; Suryadi, 2009; Hanika, 2016; Achsa, 2015).

Akan tetapi dalam tulisan kali ini penulis tidak ingin terjebak dalam romantisme representasi serta pro-kontra dilema antara teknologi dan identitas, penulis berkeinginan untuk menyoal paradoks teknologi dan identitas secara lebih luas, bertolak dari konsep ketidakmutlakan subjektifitas dan kesemuan obejektifitas maka mendudukan teknologi sebagai penanda serta membacanya melampaui jebakan identitas.

Dengan menggunakan asumsi dasar Antonio Negri empire dan multitude, penulis ingin mengurai kompleksitas identitas atas dasar teknologi dalam memainkan bahasa ideologi yang melatarbelakanginya. Merujuk pada fenomena klaim negara maju atau tertinggal atas dasar penguasan dan pengembangan teknologi menjadi tilikan awal untuk mengelaborasi permainan bahasa identitas teknologi dalam tataran global. Akan tetapi tulisan ini tidak akan meninggalkan konsep diri dan identitas yang akan dielaborasi dari pemikiran Jacques Lacan untuk membaca fenomena kenikamtan identitas, sehingga diharapkan akan terjadi kaijan yang komprehensif dan holistik dalam mengkaji identitas dan teknologi

Perkembangan Teknologi Berdalih Revolusi 4.0

Perkembangan teknologi yang semakin massif dimaknai sebagai bagian kemajuan dunia dan modernisasi (Nasution, 2017: 31), berdalil efisiensi dan efektifitas seolah menjadi iman yang semakin mendistorsi aspek kemanusiaan, tak jarang perkembangan teknologi membawah dampak pada hilangnya sumber daya seseorang atau bahkan kematian (Ahmad, 2012: 142).

Sebagaimana konsep yang diungkapkan oleh Alfin Toffler, bahwa saat kita berada pada the third wave (gelombang ketiga), era ini ditandai dengan merebaknya industrialisasi dan kuatnya posisi teknologi informasi (Toffler, 1980).

Senada dengan Toffler, Catell merangkai konsep information age, dimana terjadi restrukturasi fundamental terhadap sistem kapitalisme dan memunculkan kapitalisme informasional yang ditandai dengan pergeseran basis sirkuit kapitalisme dari risolses alat produksi menuju informasi. Kajian lain menyematkan terjadinya revolusi 4.0 dengan nama disruption, menelisik awal kemunculannya Clayton Christensen (1997) mendefinisikan disruptif sebagai tindakan merusak yang ditandai terjadinya ganguan dan perubahan.

Melacak linimasa terjadinya revolusi industri, revolusi industri pertama di tandai dengan penemuan mesin produksi yang menekankan pada mekanisasi produksi, kedua etape industri sudah beranjak pada produksi massal dan adanya standarisasi kualitas kontrol, ketiga keseragaman secara massal dan bertumpu pada komputerisasi, keempat hadirnya digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dan manufaktur (Schwab, 2017). Menfokuskan kajian pada revolusi industri 4.0 paparan kali ini berusaha untuk mengurai langskap revolusi 4.0 serta kaiitannya dengan paradoks teknologi dan identitas.

Selain aspek kekuatan dan kemampuan penguasaan teknologi, aspek lain yang penting untuk ditelisik di era kontemporer adalah kecepatan, merujuk pada konsepsi Lyotard mengenai kondisi post modern, maka adagium bahwa saat ini bukan lagi negara kuat yang bertarung dengan negara lemah, tetapi negara cepat yang dapat mengalakan negara lambat seolah menjadi fakta dari perkembangan masyarakat post-modern (Sarup, 2003: 217). Hal senada juga diungkapkan oleh Paul Virilio yang menekankan aspek kecepatan sebagai kekuataan di dunia globalisasi atau Virilio menyebutnya sebagai dromologi (Sarup, 2003: 232). Oleh karenya kekuatan rezim digitalisasi sering kali bertarungan wacana dalam hal efisiensi dan efektivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun