Mohon tunggu...
Agung Wahyu Handaru
Agung Wahyu Handaru Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Bisnis dan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Community-Based Tourism, Dilema Akses dan Kompetensi

3 Juni 2021   09:09 Diperbarui: 3 Juni 2021   11:22 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kendala Pengembangan Community-Based Tourism 

Upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan warga desa khususnya di wilayah yang memiliki potensi wisata sepertinya belum berjalan dengan efektif. Di satu sisi, warga masyarakat dan aparatur desa sebetulnya menyadari bahwa wilayahnya memiliki potensi wisata. Namun sayangnya, kesadaran tersebut tidak seluruhnya dapat ditindaklanjuti. Banyaknya desa yang memiliki potensi wisata namun belum dikembangkan menjadi destinasi wisata adalah fakta yang jelas terlihat.  

Fenomena ini juga dapat dilihat pada desa-desa pesisir pantai. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat best practice dari desa-desa di Bali yang mampu mengelola wilayahnya menjadi destinasi wisata hingga berskala Internasional. Jika ada desa yang sudah mampu menerapkan manajemen pariwisata dengan baik, mengapa hal ini tidak bisa dilakukan oleh desa lainnya? Perbandingan ini tidak bisa secara langsung dilakukan karena begitu banyak elemen yang terkait dengan pengembangan pariwisata di tiap wilayah. 

Dolezal dan Novelli (2020) berpendapat bahwa pengembangan suatu wilayah menjadi destinasi wisata sangat dipengaruhi oleh pemberdayaan masyarakat dan efektifitas kemitraan antara warga desa dengan semua pihak yang terkait dengan industri pariwisata. Berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengembangan sektor pariwisata, sudah sejak lama menjadi masalah yang pelik. 

Akan tetapi, pemberdayaan masyarakat dalam aktifitas pariwisata nyatanya sudah berhasil dilakukan di beberapa destinasi. Misalnya desa wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli, desa wisata Tigawasa dan desa Cempaga di Kabupaten Buleleng, desa Taman Sari di Kabupaten Banyuwangi, dan desa wisata Lerep di kawasan Kecamatan Ungaran Barat, Semarang. 

Pemberdayaan masyarakat dalam sebuah destinasi wisata memposisikan penduduk di wilayah tersebut menjadi pemain utama dalam aktifitas rekreasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum penduduk asli dapat berperan dalam industri pariwisata, perlu dilakukan upaya pembekalan dan pemenuhan kompetensi. 

Dalam upaya mengembangkan potensi pariwisata khususnya di wilayah pantai, sejumlah desa yang berada di pesisir pantai banyak terkendala oleh akses. Pilquimán-Vera, Cabrera-Campos, dan Tenorio-Pangui (2020) mengkonfirmasi bahwa masalah akses dapat menjadi hambatan serius dalam upaya mengembangkan pariwisata wilayah. Dalam kajian pariwisata pantai dan pulau, ada perbedaan akses yang ditinjau dari pintu masuk utama seperti airport, pelabuhan, atau akses jalan tol. Untuk wilayah Jawa Barat misalnya, jika pintu masuk utama wisatawan adalah bandar udara di kota Bandung, maka akses menuju pantai yang berada di wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya bisa menjadi kendala yang harus diperhitungkan. 

Sebagai ilustrasi, Google maps menginformasikan jarak dari kota Jakarta menuju pantai selatan Jawa Barat di wilayah kabupaten Cianjur tercatat sekitar 265 kilometer, atau 6 jam 30 menit perjalanan dengan mobil pribadi. Perjalanan yang cukup panjang ini masih ditambah dengan kondisi jalan yang naik-turun, banyak tikungan tajam, jalan yang tidak lebar di beberapa tempat, fasilitas pendukung kenyamanan dan keamanan yang terbatas sepanjang perjalanan terutama saat keluar dari wilayah kota. 

Di wilayah lain seperti kota Padang dan Pangkal Pinang, akses menuju pantai sangat mudah dan nyaman bagi pengunjung karena topografinya relatif landai dan lurus. Google maps menunjukkan jarak dari Bandara Internasional Minangkabau menuju pantai Padang hanya sekitar 24 kilometer atau 38 menit dengan kendaraan pribadi. 

Sedangkan dari bandar udara Depati Amir di Pangkal Pinang menuju pantai Pasir Padi hanya berjarak sekitar 8 kilometer atau 15 menit perjalanan dengan mobil. Kendala jarak inilah yang diakui oleh aparatur desa di wilayah pesisir selatan Jawa Barat sebagai salah satu penyebab pariwisata di kawasan tersebut sulit berkembang. Dengan kondisi perjalanan yang banyak tanjakan, turunan, dan belokan tajam, berpotensi menimbulkan mabuk perjalanan terutama bagi anak-anak dan orang tua sehingga perjalanan menjadi tidak nyaman. 

Selanjutnya, community-based tourism belum berjalan dengan sukses di wilayah desa pesisir pantai selatan Jawa Barat karena terkendala aspek kompetensi warga. Penulusuran terhadap tingkat pendidikan terakhir dari warga di beberapa desa mengungkapkan fakta bahwa sedikit sekali generasi muda mereka yang masuk perguruan tinggi (dibawah 3% dari jumlah penduduk desa). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun