Menjaga Spirit Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro
Ramadhan telah dipanggil oleh Allah. Ramadhan, bukan meninggalkan kita. Tetapi, ia telah pulang ke pangkuan Allah. Ramadhan akan hadir lagi pada 11 bulan berikutnya. Justru, belum tentu kita bertemu kepadanya. Bisa juga karena sakit atau Allah menghendaki umur kita yang pendek/mati.
Sebagai umat Islam dan beriman, kita merasa sedih telah melalui bulan ini. Â Di bulan tersebut, "obral" pahala sangat banyak, namun sekarang bulan tersebut telah dipanggil oleh Allah.
Ada 2 kategori orang meninggalkan bulan Menjaga Spirit Ramadhan, yaitu:
- Bahagia. Orang yang ditinggalkan merasa bahagia. Mengapa bahagia? Karena telah melalui "wisuda". Layaknya, sekolah/kuliah di Perguruan Tinggi. Usai ujian ada wisuda. Ujiannya meliputi "pelajaran" tarawih, puasa, witir, tadarus, itikaf, qiyamul lail, sedekah, dan ibadah lainnya.
Materi-materi "pelajaran" tersebut telah dilalui bagi oang yang senang dengan kehadiran sekolah Ramadhan. Ia lalui "ujian-ujian" materi pelajaran dengan bahagia. Sehingga, "wisuda berupa orang yang bertakwa, ia mudah menggapainya. Minimal, ia telah mendapat fitrah/kesucian. Gelar yang ia dapat adalah "muttaqien" atau orang yang bertakwa. Itulah, orang yang bahagia saat ditinggalkan Ramadhan.
Orang yang bahagia ini, hatinya bersedih, karena tidak semua (11 bulan) itu ada "penggemblengan" ibadah sebagaimana di sekolahan Ramadhan.
- Biasa. Perasaan biasa-biasa saja ini ada pada orang yang tidak melaksanakan pembelajaran dengan baik waktu di sekolahan Ramadhan. Ia tidak rajin mengikuti setiap pelajaran. Bahkan, ia sangat mungkin tidak hadir/bolos saat pembelajaran. Saat pelajaran puasa, ia malah tidak puasa. Padahal, ia mampu secara hukum fiqih.
Saat pelajaran tarawih dan witir, ia bolos juga. Ia tidak hadir dengan alasan tidak jelas. Padahal, ia telah memenuhi syarat hukum untuk melaksanakan pembelajaran tersebut.
Saat tadarus pun, ia bolos, ia tidak hadir untuk tadarus. Padahal, ia punya kemampuan untuk belajar Alqur'an.
Demikian "pelajaran-pelajaran" lainnya. Ia dengan mudahnya tidak mengikutinya. Ia "bolos". Ia tidak puasa, tarawih, witir, tadarus, itikaf, zakat fitrah, dan ibadah di bulan suci tersebut. tetapi, "anehnya" tetap berlebaran.
Dalam pandangan penulis, maka perlu ada pembeda antara Idul Fitri dan Lebaran. Orang yang telah membolos pada pelajaran di sekolahan Ramadhan, ia hanya dapat Lebaran. Lebaran sebagai adat/budaya saja. Ia tetap melakukan makan opor ayam, reuni dengan teman sekolah, merayakan lebaran dengan berwisata, dan perayaan lainnya. Namun, "fitrinya" ia tidak dapat. Fitrinya tidak ia peroleh, dikarenakan ia tidak lulus saat bersekolah di sekolahan Ramadhan.