Ketiga, budaya literasi. Setiap melakukan kunjungan ke family doctor maupun ke dokter kandungan, saya dan istri selalu diberikan setumpuk bahan bacaan bahkan diminta untuk mengikuti kelas online/offline untuk memastikan pemahaman soal situasi baru tentang kehamilan ini telah menjadi pandangan kolektif dalam keluarga. Situasi hamil, kesehatan ibu dan bayi, soal gizi ibu dan bayi, atau hal-hal lain yang mengikuti merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri.
Dampak dari tiga hal tersebut, salah satu yang saya rasakan adalah soal keterlibatan suami selama proses kehamilan.
Bila selama di Indonesia, partisipasi saya sebagai suami mendampingi istri perlu waktu untuk dimiliki (baca : kehamilan pertama), di kehamilan kedua ini, secara alami lewat pembiasaan rutinitas medical check-up dan akivitas literasi setelahnya, memberi ruang khusus dalam memori kognisi, afeksi, dan psikomotorik saya untuk lebih berempati dan aktif berkomunikasi dengan istri tentang apa yang ia alami.
Apalagi pada kehamilan pertama, ia melaluinya dengan operasi. Otomatis saat mengandung si bungsu, muncul harapan agar bisa melaluinya dengan normal.Â
Tentu ada banyak hal harus dilakukan agar keinginan ini tercapai yang sedikit-banyak menuntut kolaborasi yang baik antara istri-suami dan si sulung yang merasa mulai kurang diperhatikan.Â
Alhamdulillah, setelah melalui proses panjang selama 9 bulan, anak kedua kami lahir melalui persalinan normal dan sehat. Perlahan si sulung juga mulai memahami tanggung jawabnya sebagai kakak yang terpaut usia 5 tahun.
Cerita pengalaman istri yang lahir tanpa rencana atau ketika kami menunda untuk memiliki anak kedua, namun tetap terjadi kehamilan setelah 5 tahun lamanya, bisa menjadi pelajaran.Â
Bahwa mempersiapan kehadiran si jabang bayi agar sehat bisa dikondisikan, asal hadir komitmen bersama untuk itu. Karena yang terpenting saat kehamilan sudah terjadi, pasangan harus secara konsisten saling memperhatikan, rutin memeriksakan diri kepada dokter, dan selalu berinisiatif meningkatkan kemampuan literasi tentang kehamilan itu sendiri.
Sehingga, saat komunikasi intensif dilakukan kepada para pihak, misalnya anggota keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) maupun pihak lain (dokter, pihak rumah sakit, dan para sahabat/kerabat terdekat) dapat berlangsung lancar tanpa kendala berarti.Â
Kondisi ini relevan bila di tanah air kesadaran soal efek menjadi ibu atau memiliki anak masih belum merata dipahami. Termasuk saat membahas stunting.