Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ojo Dumeh

9 Agustus 2014   18:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:58 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14075582531965120035

Oleh oleh mudik Idul Fitri tahun ini adalah sebuah kesan yang sangat dalam, kami enam bersaudara bersepakat lisan berkumpul setiap dua tahun sekali, dengan pertimbangan tahun ini berkumpul di rumah ibu dan bapak di kampung halaman kemudian tahun berikutnya berlebaran di rumah mertua masing masing begitu selanjutnya dan selanjutnya. Meski kadang kesepakatan “terpaksa” terlanggar karena keadaan, kakak yang bekerja di Pulau Seberang lebih dulu pulang ketika dapat cuti atau sedang bertugas di Surabaya, Jogjakarta atau kota di ulau Jawa, pun saya pribadi sering tak tahan tergiur promo ticket murah saat low seasson yang tersedia hanya empat atau lima seat bahkan harga sudah termasuk tiket untuk pergi dan pulang.

Suka cita Idul fitri selalu menghadirkan cerita seru, perjuangan mudik yang bermula dari berburu ticket beberapa bulan sebelumnya (saat ini H-90) kemudian menghalau kemacetan luar biasa di sepanjang jalur pantura atau jalur selatan yang memakan wakt tempuh hingga melebihi sekali rotasi bumi memutari matahari, menangkan anak anak yang dilanda kebosanan merengek karena pengin pipis ditengah jalan atau yang masih balita tak mau lepas dari gendongan orangtuanya, menghadapi waktu tempuh kereta yang molor semua menjadi warna yang membungkus keindahan ketika telah berlalu dan menjadi sebuah kisah.

[caption id="attachment_352042" align="alignleft" width="300" caption="rumah joglo -dok.pribadi"][/caption]

Kampung Halaman selalu identik dengan sunyi sepi dan kelambatan dalam akselerasi pembangunan perkotaan, meski sebagai perantau saya cukup mengamini namun setelah melintasi dua dekade pengembaraan perubahan di kampung kecil saya di sudut perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur akhirnya terasa juga, hilir mudik kendaraan hampir duapuluh empat jam tak henti, sepanjang jalan utama desa yang semula hanya sebagai rumah tinggal kini sudah berdiri macam macam usaha mulai Toko Kelontong, Toko Meubel, Apotik, Warnet, Service Motor, Tambal Ban, Tukang Las, Bank Perkreditan, Counter Pulsa, Warung Makan, lapak Mie Ayam, Baksa dan Nasi Goreng berderet semua tersaji lengkap menyediakan hampir seluruh kebutuhan dari kaki sampai ujung rambut. Masjid Jami yang dulu hanya satu satunya menjadi legendaris harus rela berkurang jamaah karena ada masjid baru berdiri yang berjarak tidak sampai satu kilometer, langgar dan surau berdekatan meramaikan suasana pagi dengan bacaan kitab suci lewat corong pengeras suaranya.

Kampungku kini berubah wajah, sunyi dan sepi beranjak pergi menjelma dengan riuh rendah meski tetap saja ruh keramahan dan kebersahajaan tak begitu saja mudahnya luntur. Para tetangga selalu berbasa basi dengan bahasa jawa halus dan ekspresi yang tulus, Wajah wajah asing bertemu di sana sini, disamping rumah di pasar di sepanjang perjalanan menuju sawah, di area pemakaman entah pendatang baru entah anak mantu tetangga atau cucu semua luput dari ingatan dan sama sekali tak bisa mengenali. Adalah ibuku perempuan dengan kulit yang sudah berkerut, tujuh puluh tahun hampir dilakoni perannya di dunia fana ini mengajak membuka kenangan perjalanan masa kecil. Dengan telaten diajak melangkah menyusuri jalanan makadam menuju tempat rumah sahabatku semasa SD, SMP, rumah rumah yang dulu berdinding bambu telah disulap menjadi bangunan bata dengan model modern.

“ini rumah Slamet teman sekelasmu di SD garasinya ada di seberang jalan karena kebon ini sudah dibeli, anaknya sudah dua” Ibu mulai merinci “sebelahnya rumah Budi temanmu SMP sekarang ditinggali ibunya, dia lagi tugas ke Malang sama istrinya rutin sebulan sekali pulang” lanjutnya “Nah yang rumah lama ini rumahnya Nana adiknya Purnomo, kalau Pur sekarang beli tanah luas di desa sebelah sekarang dibangun rumah.” Cerita ibu terus mengalir membuka nostalgia masa dulu tentang nama nama teman yang dirunut satu persatu. Wajah mereka mampir di benakku, tingkah konyol dan lugu yang sempat kulakukan bersama nama nama itu hadir dalam bayangan. Sambil merasi diri sudah berumur juga, langkahku yang sedemikian jauh telah memisahkan dengan dunia kecil yang kini dihadapanku dan sudah sangat jauh berbeda. Satu hal yang kuresapi adalah mereka teman teman kecil yang kini sudah berpunya itu dulu anak yang biasa biasa saja dari segi prestasi akademik atau latar belakang ekonomi orang tua. Satu nama yang disebut ibu dan mampu mengerek derajad kehidupan ekonomi keluarganya dulu kedua orang tuanya penjual minyak tanah keliling, ada juga yang dulu bandelnya minta ampun sampai sampai setiap pelajaran nilainya jeblok, bahkan ada yang dulu menjadi musuh utamaku namun seiring perjalanan waktu mereka mampu membalikkan keadaan.

Tapi disisi lain ada seorang kakak kelas yang dulu menjadi idola gadis bahkan garis ketampanannya masih saja terlihat sampai masa tuanya keadaannya tak seberuntung penampilannya, kegigihannya tak sebanding dengan tantangan yang dihadapi bahkan sempat waktu sang kakak kelas ini merantau di Surabaya dan sekantor denganku hanya beberapa bulan bertahan kemudian pamit balik pulang ke kampung. Teman perempuan yang dulunya menjadi primadona desa dan menjadi incaran jejaka, kini hidupnya berdampingan dengan suami yang ringan tangan rumah besar milik ibunya kini di petaksebagian dijual dibuat warung.

Kehidupan berjalan dan berputar, ketidakpastianlah yang mutlak berlaku. Kepastian hanya di genggaman-NYA. Maka ojo dumeh atau jangan mentang mentang atau jangan semena mena ketika roda sedang bergerak ke atas atau berkebihan secara fisik dengan wajah yag rupawan. Ada saatnya tiba roda akan bergerak ke bawah, namun sunatullah kehidupan tak akan berlaku curang kepada setiap manusia. "Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan." [QS 31:29]- wallahu’alam Bissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun