Menggeluti pekerjaan di bidang kreatif, memungkinkan saya mendapat aneka undangan kegiatan. Satu diantaranya ikut event runner, yang menuntut peserta berkumpul di pagi- pagi buta. Kami konten kreator, mendapat fasilitas sama layaknya peserta lari.
Musti mengambil race pack, beberapa hari sebelum hari H. "Mas, dirimu pakai ukuran XXL lebih pas, deh", celetukan teman saat kami ngepas kaos runner.
Saya cukup terhenyak, sembari membatin apa segendut itu badan ini. Tapi sesuai peraturan, tidak bisa tukar ukuran kaos. Soal gemuk badan saya denial, merasa kaos ukuran XL cukup di badan. Saya makan tidak sering- sering banget, dan masih tetap rajin jalan kaki.
Tetapi pembelaan diri itu terbantahkan, saat event lari 6 KM tengah berlangsung. Belum genap satu kilometer pertama, nafas ini ngos- ngosan sampai engab. Selepas satu kilometer, sebentar- sebentar saya berjalan kaki karena tak kuat lari.
Begitu separuh perjalanan, posisi saya bergeser di barisan belakang. Bersama peserta lain, yang tak kuat lari senasib dengan saya. Ibarat sebuah pertempuran, saya musti menyelesaikan. Meski tertatih berlari bercampur jalan kaki, akhirnya saya sampai juga di garis finish.
Kegemukan ini tervalidasi oleh diri sendiri, setelah melihat foto saat di booth. Perut ini tampak menggelembung, pipi makin kelihatan chubby saja. Dan apalagi kaos yang dipakai, nempel banget dengan badan.
"Duh, saya musti diet,"batin ini berbisik. Tapi apa daya niat hanya di mulut, jiwa ngeyel ini masih terlampau kuat. Niat itu hanya berhenti di hati, saya butuh alasan lebih kuat.
Sepekan setelah event lari saya mudik, ibu yang sudah sepuh kangen anak ragilnya. Di kampung halaman, saya bersua dengan banyak saudara. Ada satu bulek nyeletuk, mengomentari bentuk badan saya yang bulat.
Ya, tentang badan gemuk, seperti komentar teman soal kaos XXL. Setelah komentar bulek di kampung, tekad diet mulai membulat. Saya musti benar-benar mulai diet, musti menaklukkan ego. Siap menghadapi, tantangan diet di usia pra lansia.
------ ----- ----